Kamis, 13 Agustus 2009

CERPEN, THE ANGKRING

Pada sebuah buku binder, aku mulai meggoreskan keluh-kesahku yang sudah aku mentahkan hari ini. Dengan duduk jegang di lincak pada sebuah angkringan. Kaki kananku ada di atas, segelas jahe anget ada di sebelah kiriku, terlihat asap mengepul dari atasnya, benar-benar menggoyahkan seleraku.
“Bos, koq malem ini sepi tho?” tanyaku kepada penjual angkringan yang kira-kira berkepala empat umurnya.
“Iya, mungkin karena tangga tua Mas, jadi jarang yang mau makan keluar. Mungkin jatah mereka dipotong ronde makan malamnya. Sehari cukup dua kali kalau lagi kere.” jawabnya dengan senyum yang lugu tapi tulus. Cukup menyuarakan jeritan rakyat yang benar-benar kecil.
Aku sudah menjadi langganannya penjual sego kucing ini. Selalu datang sehabis maghrib dengan membawa binder dan pastinya muka yang murung namun selalu pulang dengan mimik yang menarik karena tersungging senyum kepuasan tiada tara. Binder kesayangan ini, sudah lecek rupanya, tapi semakin lekat di hati dan tanganku. Aku seakan-seakan memasuki dunia lain yang sangat baru, di sana aku bisa melayang terbang bak imaji yang tanpa palang. Aku berhak marah jika ada yang menyebalkan, aku berhak terharu jika ada yang memilukan, aku berhak tertawa jika ada yang menggelikan, dan yang paling menyenangkan aku berhak tersipu dan merona jika ternyata hatiku tertoreh rasa yang bergelora tentang gelombang bahkan badai cinta. Sedangkan penjual itu, dia hanya tersenyum simpul saat aku ajak bicara atau aku lunasi seluruh tagihanku. Hutang, begitulah kebiasaanku jika memang betul-betul kering kerontang isi dompet ini.
Malam ini aku menuliskan:
Aku berbahagia. Baru saja aku menjemput Srikandhiku. Setelah sekian lama berkeras tulang untuk memanusiakan kondisi ekonomiku yang memelas. Aku melamarnya langsung, menunjukkan bahwa diriku adalah Arjuna yang kokoh membawa panah asmara lalu aku bidikkan tepat dihatinya, juga bapak dan ibunya tentunya. Aku sungguh berniat menikahinya namun tak hanya dia, karena aku juga menikahi keluarganya, merekalah salah satu unsur kebahagian surga dunia yang akan aku bentuk kelak.
Dengan sesetel pakaian pakaian mencolok warna kuning, aku ditemani kakak pertamaku mendatanginya untuk langsung meminang dari (calon) Bapak(-ku). Aku sudah semalam mempersiapkan dengan penenangan berupa istirahat total tanpa hiruk pikuk aktivitas apapun. Setelah shalat Isya’ langsung menuju amben, merebahkan kepala yang tertera mulut yang esok harinya akan aku gunakan dalam peminangan Srikandi. Aku ingin mengistirahatkannya dengan segera supaya besok bisa benar-benar lincah dan menyejukkan, sehingga yang mendengarnya bisa terpikat lalu mengiyakan segala harapan muliaku. Dan hanya itulah alternatif yang aku persiapkan.
Srikandi itu adalah Rina Astuti Ratminto. Dia gadis manis yang wajahnya mahal untuk terjamah. Menyentuh tangannya saja suatu prestasi tertinggi di desaku. Memang dirinya dibentuk oleh bapaknya untuk menjadi harta karun yang berisi emas dan permata yang kilaunya meneduhkan bagi yang memandangnya. Dari situ terlihat, sebenarnya bukan hanya terlihat tapi memang ada dalam dirinya jiwa lembut yang tiada tara kedamaiannya. Namun muncul erangan menyeramkan setiap ada kemungkaran yang muncul dari setiap segi, namun tetap bijak dalam setiap jengkal penempatannya. Hartanya tidaklah begitu meruah, memang yang aku cari adalah orang yang sederhana saja, ya seperti dia. Namun dia adalah salah satu keturunan raja-raja mataram, aku tidak tahu siapa nenek moyangnya, namun hanya mengamininya. Makanya namanya kadang ditambahi gelar “Rr” di depan nama aslinya.
Lalu aku duduk, sudah ada bapaknya yang duduk santai seperti tanpa ada beban hidup secuil pun. Muncul ibunya yang aku akui sangat anggun mengeluarkan kopi bagi bapaknya, dan dua gelas teh manis bagi kami dengan ditemani berbagai jenis cemilan.
“Nak Hamdi, Ini minumnya, langsung dinikmati saja. Masih banyak koq cadangan di belakang. Nanti kalau kurang bisa diambilkan, atau sekalian seember sekalian, tapi buat cuci tangan lho…” kata bapaknya Rina (yang tersayang), dia mencoba bercanda. Mungkin ingin mencairkan suasana yang kaku karena kekeluan ujaranku.
“Ok pak…” jawabku dengan senyum dan sebuah tarikan nafas panjang untuk menenangkan dadaku yang belum mau berhenti berdegup kencang. Sebenarnya aku ditawari kakakku supaya nanti yang berbicara kakakku saja, namun buru-buru aku tolak soalnya aku ingin menunjukkan keberanianku, supaya bapaknya yakin tentang tekadku yang bulat dan komitmenku yang besar.
“Srupu…t.” aku meminum teh manis itu. Rasanya menyegarkan. Aku letakkan di meja kembali, lalu mulai menatap wajah bapaknya dan nafas yang panjang tentunya.
“Begini Bapak Joyo Utomo, langsung saja, kami kesini ada dua maksud. Maksud yang pertama kami ingin bersilaturahmi supaya kita lebih erat persaudaraannya sekaligus disukai oleh Allah.” aku masih berbasa-basi. Aku yakin bapak itu sudah tahu maksud kami ke sini. Aku sudah mengutarakan maksudku mempersunting Rina dan juga kedatanganku malam ini agar dipersiapkan persiapan teknisnya lebih matang terdahulu.
“Maksud yang kedua, saya pribadi ingin mengutarakan keinginan besar, e… sekaligus harapan mulia yang sudah lama saya dambakan.” suasana kini sunyi, aku lirik ke dalam ruangan seberang. Tidak terlihat apapun namun aku yakin di sana Rina pasti sedang menguping.
“Begini, kami, maaf, maksud saya diri ini sendiri ingin meminang putri Bapak yang bernama Rina Astuti Ratminto. Saya benar-benar mengharapkan dia direlakan untuk mengarungi samudra kehidupan bersama saya. Dan Bapak, selaku walinya yang berhak sepenuhnya maka saya sangat mengharapkan kerelaan tersebut.”
“Hmmm…” bapak itu tersenyum, entah mengejek atau memuji. Dia lalu memperbaiki tempat duduknya menjadi lebih tegak.
“Langsung. Saya akan memberikan jawabannya hanya berdasarkan satu hal. Rina… cepat kamu kesini!”
Tak mencapai lima detik Rina keluar. Duduk di samping bapaknya, dia terus merunduk.
“Begini Rina, ini ada lelaki yang ingin menjadikanmu teman sejati dalam hidupnya, Nak Hamdi. Kira-kira kamu mau atau tidak. Saya akan menurut kepadamu. Saya percayakan sepenuhnya kepadamu. Bapak tidak memberikan pertimbangan apapun karena sudah yakin dengan pilihanmu.”
Kami semua memandang Rina. Tapi dia malah meneteskan air mata. Aku jadi salah tingkah. Tiba-tiba dia beranjak, dia masuk, nyelonong begitu saja tanpa kata-kata.
“Tenang saja Bocah Bagus. Kamu tahu kan bagaimana posisinya saat ini. Mungkin karena perasaannya yang sangat penuh sesak dengan keharuan sehingga dia hanya diam. Namun aku bisa menyimpulkan sikap diamnya dengan arti: YA”
***
“Bos, kopi pahit, kenthel kayak bubur pokoknya.” kata seorang lelaki yang baru saja duduk di sebelahku. Aku sudah tidak kaget dengan suara dan macam pesanannya. Siapa lagi kalau bukan Danto, dia adalah teman sepersepuluh hidupku. Namun kali ini aku merasakan keanehan dalam suaranya, dulunya selalu riang dan menyenangkan tetapi kini menjadi parau dan memelas.
“Ada apa Dan, sepertinya kali ini kamu sangat murung?” tanyaku.
“Iya. Aku sangat sedih. Sungguh jahat lelaki itu. Dia belum tahu siapa aku, seorang yang gagah yang pemberani. Yang siap mengorbankan nyawa demi perjuangan cinta. Memang kelihatannya cengeng, tapi hanya inilah harga diriku yang bisa aku persembahkan. Aku tidak ingin diinjak-injak, aku harus merubahnya.” serunya dengan menggebu-gebu. Mungkin aku harus salut dengan semangatnya kali ini, seperti semangat 45 saja.
“Iya, tapi ceritanya yang jelaslah. Aku mana mungkin paham jika kamu kayak gitu.”
“Tenang saja, aku akan menceritakannya koq… Kamu tahu kan? Kalau aku tuh orang yang kalau mencintai setengah mati pokoknya. Nah, sejak tiga bulan yang lalu aku mulai ada rasa dengan seorang wanita. Dia cantik dan anggun sehingga aku sungguh tergila-gila kepadanya. Lalu aku mulai mendekatinya, mungkin aku hanya bisa hanya berkunjung ke rumahnya lalu ngobrol. Aku belum bisa menunjukkan bahwa aku mencintainya, tapi aku yakin kalau dia tahu itu. Aku pun yakin kalau dia itu sebenarnya juga mencintaiku, aku sudah merasakannya dengan jelas-jelas.”
“Wah, kenapa kamu baru cerita sekarang? Kalau tahu begitu kan aku bisa membantu. Namun sekarang belum terlambat kan, jadi masih bisa ada usaha tindak lanjut. Nah, tapi sekarang kenapa kamu koq malah sewot kayak gini?” tanyaku sembari menenggak jahe anget dan menutup binderku, aku merasa diariku hari ini sudah cukup.
“Dia kemarin memberitahuku. Suatu kabar kabar yang akunya menyenangkan, tapi bagiku seperti racun kobra. Dia, dia, akan menikah dengan lelaki lain sebulan lagi. Tanpa rasa berdosa, dia langsung memberitahuku dan dia juga memintaku untuk nanti menyebar undangannya. Sedangkan aku hanya bisa menuruti hal itu, padahal hatiku remuk redam. Hingga menjalar ke ragaku yang kemudian kelu dan layu tanpa tulang yang menyangganya.” terang Danto lagi.
“O… begitu ceritanya, aku baru paham.”
“Hamdi, kamu sahabatku yang sudah aku anggap saudaraku sendiri, bisa membantuku kan?”
“Jelas.”
“Aku ingin membunuh lelaki itu di hari perkawinannya. Tapi caranya bukan dengan menebasnya dengan pedang. Aku hanya akan meracunnya dengan racun tikus dosis tinggi, aku yakin racun itu bisa menjadikannya jasad yang kaku. Aku ingin melihat dia terkapar di hari pernikahannya, keluar busa dari mulutnya dan istrinya akan menjadi di hari itu juga.” ujar Danto mantap. Aku sontak kaget dengan keinginannya, sungguh tidak manusiawi.
“Danto, sadarlah To! Kamu itu akan melakukan kejahatan. Siapapun tidak akan memaafkan tindakan bejatmu. Terus apa mungkin gadis pujaanmu itu beralih kepadamu. Dia malah akan membencimu, dan kamu malah semakin hancur.” seruku dengan menggebu.
Danto diam. Kemudian menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. Dia menggosok-gosok, seperti ingin mengacak-acak susunan mukanya. Tiba-tiba dia sesenggukan, dia menangis, lalu semakin keras. Dia mencurahkan seluruh amarah, atau emosinya ke dalam tangisnya. Semakin keras saja, dia kini seperti orang yang mengerang. Sepertinya kejadian ini sangat memukulnya. Aku jadi semakin iba dengan sahabatku yang satu ini.
“Hamdi.” dia mulai angkat bicara. “Aku ingin berterus terang ke kamu. Aku, aku, tadi membohongimu. Tadi ku bilang aku belum berani ucapkan cinta ke dia. Begitu kan? tapi yang benar aku sudah melakukannya. Dan diapun mencintaiku. Aku jadi sangat gembira. Hingga kini semakin parah, aku melakukan kesalahan besar…” danto berucap dengan terbata-bata dan kadang diselingi sesenggukan.
“Kesalahan apa? Nanti aku akan membantumu menyelesaikannya, jadi tenang saja. Kamu cerita saja, aku ada untukmu koq.”
“Hamdi, aku… Aku telah menghamilinya.”
“Hah, kau tidak salah ni?” tanyaku dengan setengah berteriak.
“Tidak, ini benar. Kami saling cinta, dengan sukarela kami melakukannya.”
“Tapi kenapa dia mau menikah dengan orang lain?”
“Nah itu masalahnya. Aku belum bisa menikah dengannya. Kamu tau kan? Aku tuh masih kuliah, baru semester lima. Bisa apa aku ini.”
“Jadi dia menerima lelaki yang mapan?”
“Iya. Tapi hatiku sakit. Aku sakit karena dikhianati dan karena cemburuku yang amat sangat.”
“Sebentar-sebentar, emang siapa sebenarnya wanita yang kamu maksud itu?”
“Kamu pasti kenal dengan dia. Rina Astuti Ratminto.”
“Glek.” aku hanya bisa menelan air liurku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar