Kamis, 13 Agustus 2009

cerpen - ARJUNA MUDA

cerpen - ARJUNA MUDA
Di sebuah halaman gedung bercat kuning, terlihat megah dengan tiga lantai. Semilir angin menambah sejuknya suasana karena terdapat pohon mahoni besar. Walau kadang terlalu kencang sehingga daun-daun beserta debu-debu beterbangan menyesakkan dada hingga memedihkan mata. Tampak dua buah patung yang benar-benar mematung. Terkadang lewat beberapa orang yang menampakkan mimik ceria atau suram. Mereka berlalu tanpa peduli dengan sekedar tersenyum atau melirik.
Arjuna muda kemudian memanggil Srikandi untuk duduk, sepertinya ada keperluan penting yang ingin dibicarakan. Srikandi enggan, memang, mana kenal dengan Arjuna Muda ini. Dengan memaksa sepenuhnya, pergelangan Srikandi dipegang erat, lalu ditarik, akhirnya mereka duduk. Walau Arjuna Muda sempat ragu, apakah ini kenyataan?! Karena Arjuna Muda selalu menganggap Srikandi adalah mimpi di siang bolong. Arjuna muda tersenyum, Srikandi membalas dengan terkekeh-kekeh keheranan, ada apa gerangan? Aneh, baru kali ini Arjuna Muda mengajaknya berbicara serius, meminta waktu luang dan memohon kesediannya untuk duduk.
Tiba-tiba Arjuna muda menjadi gagap, susah bicara. Ide, rasa, dan gelora terlalu menumpuk di daging kenyal dalam batok kepala. Semuanya berjejal-jejal berebut keluar, menyuarakan aspirasi yang lama terendam bukan karena dierami. Melainkan dipaksa tertanam hanya karena bibir enggan mengungkapkan kenyataan. Yang keluar hanya kata-kata yang tak beraturan dan tanpa makna. Srikandi pun bingung karena melihat kebingungan Arjuna muda. Tadinya Arjuna Muda begitu semangat, tapi apa terlalu semangat ya? Jadinya malah Arjuna Muda makin kesusahan. Dua menit, 3 menit, 5 menit, masih saja mantra-mantra berbias senyum keruh campur kecut yang menghiasi mimik Arjuna Muda. Pantas saja Srikandi sedikit jengkel, lama banget ya?
Pada menit kelima, 19 detik kemudian, dengan terbata-bata Arjuna muda berkata, “Kamu mau ga’ jadi temen aku?” sederhana ternyata pertanyaannya, tidak ada bedanya dengan yang diucapkan anak-anak dengan orang yang baru dikenalnya.
“Ya mau lah… Bukankah dari dulu kita memang sudah temenan.” jawab Srikandi dengan kernyit dahi tebal, bibir nyengir, terkejut dan heran pastinya.
“Sebenarnya, ah, gini…” tambah Arjuna muda.
“Ayolah, aku mau ada kuliah lima menit lagi.”
“Ehm, menikah denganku, mau?”
Srikandi hanya diam. Sorotnyalah yang tajam. Bibirnya jadi kelu. Gigi gemeretuk.
“Iya, kamu, maksudku Srikandi, mau kan menikah denganku?”
“Apa? Gila!”
“Apanya yang gila? Aku waras, coba kamu beri pertanyaan apapun aku bisa jawab. Dari kalkulus, teori relativitas, analisis sosial, manajeman aksi, bahkan tentang peradaban Yunani aku tau…”
“Tapi, kamu tidak waras sama sekali untuk masalah itu?”
“Apa kurang jelas ni, AKU INGIN MENIKAH DENGANMU?”
“Stop! Aku sudah dengar dengan jelas.”
“Nah, kamu jadi mau ni?”
“Apanya yang mau, Sinting! Aku sama sekali belum kenal kamu.”
“Aku sudah siapkan. CV lengkapku, dari riwayat pendidikan, pekerjaan orang tua, hingga penyakit bawaan yang masih ada.”
“Tapi aku kenalnya baru sekarang.”
“Lha… Apa bedanya? Kan kamu akhirnya juga tau banyak tentang aku kan saat ini juga?”
“Tapi itu tidak wajar.”
“Apa ada yang wajar di dunia ini?”
“Kamu semakin edan!”
“Apakah mengajak nikah itu edan?”
“Jelas. Karena kamu mengajak aku, padahal aku kenal kamu juga tidak. Kita cuman teman sekelas. Gak pernah ngobrol. Gak pernah curhat. Gak pernah jalan. Malah langsung minta nikah! Sadar …..!!!”
“Tunggu bentar, sebenarnya masalah kamu untuk tidak mau nikah apa? Masalah hartakah? Tau gak, aku punya segalanya. Yang tidak punya hanya kepribadian.”
“Apalagi ini. Bagiku harta tidaklah terlalu penting. Yang penting adalah kepribadian. Aku mencari suami yang bisa menuntunku untuk hidup bahagia dalam ketenangan yang sesuai dengan ajaran agama. Itu yang lebih penting. Tolong ditekankan.”
“Eh, apa bisa hidup tidak menggunakan harta?”
“Jelas bisa. Aku berharap menikah dengan orang tidak terlalu sukses. Kami akan menikah, berjuang bersama, menderita berdua, lalu menyemai kemenangan untuk keluarga pula. Buat apa mencari pasangan kaya. Sedangkan hatinya masih menjadi pertanyaan.”
“Kamu jangan munafik. Mana mungkin ada wanita tidak mata duitan. Coba, kamu liat Mercy hitam yang sedang diparkir di samping kantin itu. Kamu akan menaikinya bersamaku mengunjungi Bapakmu yang sedang meminum teh di depan rumah di kampung.”
“Eh, jangan kurang ajar ya… Aku tuh, wanita baik-baik. Hidupku dididik oleh kasih sayang. Berteman dengan persahabatan yang erat. Bercinta kelak dengan suami yang halal. Bukanlah orang yang sibuk mengais-ngais harta, seperti anjing penjilat saja. Mungkin saja itu kamu yang seperti itu?”
“Heh, kembali ke pertanyaan awal. Kamu mau kan menikah denganku? Kalau sekarang kamu tidak mau, aku akan menunggumu terus bagai patung.”
“Makin kacau juga pikiranmu. Walau kamu kaya, tapi hatimu buaya.”
“Kamu salah. Kamu belum membaca CVku.”
“Mana ada cinta gara-gara CV hehh..”
“Ada. Ya akan segera kita susun. Kita kaya. Kita nikah professional. Kamu bisa berkarir. Anak kita banyak. Orang tua kita bahagia. Kurang apa coba?”
“Kurang ajar tau…”
Secara mendadak dipotong, “Eh, sudah berkali-kali kamu mengecap jelek ke aku. Tau gak? Aku hanya menanti sebuah jawaban. Kamu mau nikah denganku. Sampai kapanpun itu.”
“Itu yang bermasalah.”
“Apa masalahnya?”
“Kita sudah berdebat lama untuk itu?”
“Gak masalah. Apa beratnya jika emang buat pasangan kita.”
“Aku nanya ya, kenapa sih kamu begitu ngotot denganku.”
“Karena aku suka kamu.”
“Kenapa kamu suka? Lantas harus menikah?”
“Seperti yang kamu bilang, kamu suka lelaki yang baik, tidak harus kaya. Wajar sajalah aku berkeras tulang untuk itu.”
“Tapi, semuanya butuh proses.”
“Bukanlah ini juga proses.”
“Tapi ini salah.”
“Aku bilang, aku tanya, yang salah yang mana?”
“Kamu salah ngomongnya ke aku.”
“Tidak. Aku memang mencintaimu.”
***
Sekelilingnya cuek. Tidak mengira bahwa pembicaraan serius dan panas sedang terjalin. Kecuali dua buah patung tadi.
“Liat, kedua orang itu bertengkar.” kata patung yang kecil.
“Biarlah. Apa urusan kita. Hidup itu kesendirian. Hidup bersama adalah kebohongan, penuh topeng yang jelas-jelas memanipulasi kenyataan. Untuk itu, biarlah mereka sendiri yang mengurusi. Kita tetaplah menjadi hiasan yang mematung. Ingat, kita adalah patung, tidak berhati namun menghiasi.”
“Masalahnya sepertinya sangat pelik. Ini berbahaya, bisa jadi memakan korban yang tidak berdosa. Ini harus dihentikan, jelas-jelas Kawan.”
“Eh, apa urusanmu juga patung kecil. Mereka jarang membersihkanmu. Lumut di selangkanganmu telah menghitam sejak semula hijau. Jasa apa yang ingin kamu balas, Pak Bon saja tidak pernah kamu beri ucapan terima kasih. Kamu rajin menggerutu. Tak pernah sekali berusaha. Hidup hanya meminta. Kurang minta lebih, setelah lebih bilang kurang. Apa maumu sebenarnya? Dibawa kemana cita-citamu itu?”
“Nah, itu masalahnya Patung Gedhe. Kita adalah patung. Apalagi aku kecil. Aku hanya takut kalau aku dipakai salah satu dari mereka untuk memukul, atau dibanting karena ada yang kecewa karena asmara, itu saja, kenapa juga sewot. Satu hal, kamu jangan sampai lupa, patung itu bisu…”
***
Kembali tentang lamaran mulia lagi suci Arjuna Muda:
“Sejak kapan kamu mencintaiku.” kata Srikandi.
“Sejak kamu lahir. Walau aku tidak tahu itu, tapi aku begitu yakin bahwa kamulah pasangan serasiku. Kamu beranjak anak-anak, memang aku tidak mengenalmu. Tapi aku sudah mulai belajar untuk mencintaimu. Aku persiapkan pikiranku, aku tata hatiku, aku rapihkan sisiran rambutku, kemudian aku tabung dengan nyaman. Dewasa ini aku ingin menyemainya denganmu. Hidup kita akan bersatu, hingga salah satu dari kita berhenti memandang kecantikan ataupun ketampanan kita. Ada yang kurang?”
“Heh, mulut besar, itu tidak menjadikanku rela untuk menikah denganmu. Pergi saja sana!”
“Terserah kamu mau ngomong apa. Yang pasti, aku telah berusaha. Tapi aku yakin, Tuhan mendengarkanku, dia akan memberikan yang terbaik bagi hambanya. Apalagi yang pantang menyerah sepertiku. Dan aku yakin hal itu akan terwujud.”
“Apa kamu Tuhan, sampai-sampai kamu bisa menentukan kalau kita akan menikah.”
“Memang bukan.”
“Lalu?”
“Aku sekedar orang yakin. Aku bukan orang hebat, dukun, paranormal, dedemit, atau apapun itu. Tapi, aku yakin bahwa aku yakin. Semua hati punya telinga untuk mendengar kasih cinta penuh ketulusan. Mana ada hati tuli, yang ada hati terselimuti oleh kecongkakan sehingga tidak mengakui kata sebenarnya. Yang ada hanya ingin menunjukkan kebobrokan berversi kecantikan. Atau memendam nilai-nilai insani yang kemudian terus diuangkan. Yang menjadikan uang tidak berharga karena jabatan, bahkan jabatan pun dipertarungkan untuk wanita.”
“Mengapa kamu sebegitu yakinnya?”
“Karena aku memang bukanlah lelaki berkepribadian. Aku tidak punya mobil pribadi, rumah pribadi, penghasilan pribadi, dan tethek bengek yang pribadi lainnya. Yang aku punya hanya cinta. Sebuah jiwa perjuangan guru abadi. Pelopor kecerdasan hati, untuk menyempurnakan masyarakat utama alias masyarakat yang memegang teguh agama sebenar-benarnya. Akulah yang berjalan pagi hari dan senja, kemudian menyeru untuk mengingat-Nya. Akulah yang memimpin perjuangan pembersihan mo li mo di kecamatan ini.”
“Apa?”
“Itulah aku… seratus persen sesuai kriteria.”
“…..” terdengar suara eluhan tidak jelas dari Srikandi.
***
“Patung kecil, lihatlah diriku kini tersenyum selalu. Bungah hati ini terus menggelayuti. Kau juga samakah?”
“Iya, kita tidak lagi sendiri. Ada banyak manusia yang memerdulikan kita. Sekarang setiap embun menetes selalu datang lap beserta hembusan pewangi dari semprotan milik Pak Bon membersihkan kita.”
“Doa kita dikabulkan Tuhan, Patung Kecil…”
“Juga, terimakasih mari kita haturkan kepada patung baru di samping kita. Dialah awal ramainya kunjungan manusia. Katanya simbol perjuangan hakiki cinta. Kini, patung yang satu ini telah terkenal, akan kemiripan bentuk dengan manusia. Setiap lekuk-detailnya. Proporsi kepala dengan panjang kakinya. Ekspresi penantian yang luar biasa.”
“Ah, kamu harusnya berbela sungkawa. Patung ini korban tak berdosa dari cinta itu sendiri…”