Kamis, 13 Agustus 2009

Cerpen-Cinta Gila
Urusan keluarganya yang barusan terjadi prahara, masih dalam pikirannya, hatinya pun terus bergelut. Dia ingin menggorok leher bapaknya setelah menelantarkan ibunya dan lari bersama kegilaannya main togel. Ibunya sebenarnya tidak sepenuhnya bersedih, karena sekarang ini tidak ada lagi orang yang menodong uang hasil jualan warung di rumah.
Untung saja Rudi masih bisa sedikit mengelabuhi dosennya sehingga beasiswa terus mengalir, hingga kuliah pun jalan terus karena biaya kuliah sudah ditanggung begitu pula ada uang sakunya. Walau sedikit tidak apalah, bisa dijadikan tambahan uang kiriman dari ibunya.
Kuliah. Satu kata yang sebenarnya sangat Rudi benci, mungkin karena sudah lima tahun ini dia masih saja bergelut dengan materi-materi kuliah. Untuk menyelesaikannya terasa berat, sungguh berat. Materi memang tidaklah terlalu berat, namun kemalasan menjadikan Rudi sebagai mahasiswa yang rajin menabung, menabung tugas. Namun ada satu hal yang membuatnya terus berangkat, ya, hanya sekedar berangkat untuk memandangnya. Bukanlah materi-materi atau tugas-tugas kuliah yang menjadi minatnya, namun senyum seorang gadis yang menjadikannya terus berdebar-debar. Entah ini siapa yang salah, namun setiap tutur gadis itu Rudi seakan-akan terus melonjak girang hatinya. Rudi pun ingin mengulang, terus mengulang tiada hentinya rasa ini. Sejauh ini memang Rudi belumlah sanggup untuk menelorkan ungkapan sayangnya. Hanya sekedar sapa untuk penawar rasa yang tadi malam muncul sehingga Rudi tidak bisa tidur, terus mengingatnya. Perlu diketahui, inilah satu-satunya penghibur dikala remuk hatinya.
Mia, inilah gadis yang selalu diingat Rudi tersebut. Walau kata orang-rang dia bukanlah seorang yang sangat cantik, namun cukup pantaslah jika ada lelaki yang mabuk karenanya. Seorang gadis desa yang tidaklah begitu kaya namun memiliki kepribadian yang kokoh dan pembawaan yang ringan. Tidak pernah memilih teman, sehingga temannya pun banyak. Mungkin inilah yang menjadikan Rudi begitu menyayanginya.
“Hai Mia…!” Rudi menyapanya.
“Hai juga Rud, btw tugas makalah Pancasila sudah kamu selesaikan?” tanya Mia.
“Aku masih dalam bentuk angan-angan aja, he….” jawab Rudi.
“Ya udah ya, aku pulang dulu, aku ingin menyelesaikan tugas itu.” Mia pun pamit.
Begitulah, Rudi hanya bisa menyapa, tak bisa lebih. Sapaan ini rutin setiap harinya. Pernah berkali-kali Rudi mempunyai rencana mengungkapkan rasa sayangnya, tapi selalu kandas di ujung rasa malunya. Hingga peluang yang datang pun hilang menuju rasa penyesalan yang selalu di belakang.
***
Pagi itu mentari bersinar terang, namun tidak bagi Mia kelihatannya. Murung, seolah-olah ogah menyuguhkan senyum. Padahal seringnya cerita-cerita banyol dibawanya setelah liburan ini. Pastinya dia baru saja pulang kampung, seringnya pula membawa Dodol Garut asli daerah kelahirannya. Makanan ini selalu menjadi favorit oleh-oleh ketika dibawa di kelas, di salah satu kampus di Jogja ini. Seringnya menjadi rebutan mahasiswa sekelas, bahkan masih saja ada yang makan walau dosen telah berceramah di depan kelas.
Esoknya pun tiada beda, masih saja mulut Mia terkunci. Benar-benar diam, hanya bicara sekedar untuk menjawab pertanyaan. Itu pun sangat singkat. Langkahnya terlihat gontai dan tatapan matanya kosong. Ketika datang pasti langsung duduk di pojok, lalu diam memandang tembok depan yang sebenarnya kusam. Semuanya diam, jemarinya pun tiada bergerak, kakinya terlihat membeku. Sepertinya beban berat sedang dipikulnya.
Keanehan ini sangat menjadi perhatian Rudi. Ayuhan kakinya ke kampus hanyalah untuk melihat Mia tersenyum, tapi Rudi merasa sia-sia karena senyuman itu menjadi mahal, sangat mahal. Hatinya menebak-nebak apa sebenarnya yang terjadi, karena sudah seminggu ini Mia terus saja berlaku diam.
“Mia… Kamu mau ga’ makan siang bareng ma aku?” sapa Rudi setelah tidak tahan seminggu menunggu Mia untuk kembali normal.
“Ga’!” jawab Mia ketus sambil berlalu tanpa menoleh sedikit pun. Terlihat begitu parah masalah yang menimpa Mia, namun Rudi belum tahu masalah apa yang menimpa Mia.
Rasa penasaran itu semakin menggebu-gebu. Barusan yang terjadi bukanlah kegagalan tapi tantangan untuk menguak apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin rasa itu muncul karena perasaan saying Rudi yang niscaya memiliki perhatian lebih terhadap Mia. Walau Rudi pun sebenarnya bingung, apa yang akan dia lakukan jika misteri ini terkuak, tapi setidaknya Rudi ingin membantu sebisanya. Memang Rudi tidak punya apa-apa juga tidak bisa apa-apa, tapi gejolak hatinyalah yang terus mendorongnya. Hingga Rudi berinisiatif untuk mendatangi kos-kosannya Mia, mungkin kalau bicara di kos-kosan bisa lebih terbuka. Siapa tahu kalau Mia di kampus agak malu, dan dengan di kos-kosannya itulah Rudi ingin menguak lebih dalam.
“Theet… thet… thet…” Rudi memencet bel. Terlihat sebuah kos-kosan yang tingkat dua, mungkin bisa memuat hingga tiga puluh orang. Berbagai tanaman hias terpampang di depan rumah, juga ada yang menempel di dinding. Terlihat begitu asri, namun dalam hatinya Rudi mecibir, karena dia berprasangka kalau tanaman itu hanyalah imitasi. Tidaklah salah, karena sejak kedatangan Rudi untuk yang pertama kali sekitar tiga tahun yang lalu ternyata tidak terlihat pertumbuhan pada tanaman-tanaman tersebut hingga sekarang. Rudi pun kali ini mengenakan pakaian yang sangat necis, sebuah hem coklat, celana panjang gelap yang juga terlihat ada unsur coklatnya. Jadi terlihat cocok dengan kulit Rudi yang tidak terlalu terang. Selain itu Rudi juga memakai wangi-wangian berbau cendana, sangat siap untuk menyambut senyum sang pujaan hati.
“Theet… thet… thet…” Rudi memencet bel lagi karena sang penghuni rumah tak kunjung muncul. Namun tiba-tiba terdengar “Bentar, lagi jalan ni…”
Setelah pintu terbuka, muncul seorang wanita setengah baya, sambil bertanya, “Ada apa nak?”
“Anu, saya ingin ketemu dengan Mia, apa ada ya Bu?” jawab Rudi dengan agak malu dan berusaha menyopankan diri sesopan-sopannya. “Tunggu bentar, saya liat dulu.” jawab ibu itu.
Kembali Rudi menunggu lagi, tapi kini dia duduk di kursi yang memang disediakan bagi tamu yang berada di teras, lumayan luas dan sejuk karena memang ada pohon mangga di depan rumah tersebut. Komat-kamit, berpikir, sepertinya Rudi menyiapkan kata-kata paling tepat dan tidak terlalu basa-basi namun tetap sopan. Berdebar-debar rasa hatinya kala itu, terlihat gelisah dan kayak orang yang ingin kabur. Sebenarnya Rudi malu untuk mendatangi Mia, apalagi tidak jelas tujuannya seperti ini. Selain itu Rudi bukanlah seorang yang lancar ngobrol dengan wanita, dia terlihat kaku.
“Ada apa Rud?” tanya Mia tiba-tiba. Rudi pun kaget dan tersadar dari lamunan kegelisahannya.
“E… Cuma maen aj, kamu lagi ga ada keperluan kan?”jawab Rudi dengan ragu-ragu. “Maaf, aku ga’ bisa nemenin kamu, aku ada kepentingan.” seru Mia dengan ketus. Rudi pun kaget bukan main. Akhirnya Rudi pun pulang karena Mia langsung berlalu masuk ke sarangnya dan tidak ada hak bagi Rudi untuk mengejar apalagi menahannya.
Kini Rudi seperti orang yang insomnia, malam-malamnya hanya untuk memikirkan Mia. Rasa penasarannya semakin menjadi-jadi, dia ingin tahu , benar-benar ingin. Walau pun sebenarnya Rudi ingin juga terlelap untuk mengistirahatkan raganya yang sangat letih, namun setiap meletakkan kepalanya di bantal, hanya bayang Mia yang muncul. Ketika matanya dipaksa dipejamkan, malah bayang-bayang itu semakin jelas, semula hanya hitam putih namun kini berubah menjadi berwarna. Untuk lebih memaksa, dia menindihkan bantal ke kepala, namun bayangan itu malah menjadi tiga dimensi. Kemudian mencoba tengkurap, malah bayang-bayang itu kini menjadi bukan bayang-bayang, tapi kenyataan yang benar-benar memabukkan Rudi. Akhirnya malam-malam hanya dilewati dengan keletihan dan paginya muncul tatapan kosong melompong dari matanya yang terlihat semakin cekung dan kelopaknya yang lebam.
Keputusan ini sudah bulat, Rudi akan mencoba mengintip kamar Mia. Siapa tahu dari usaha ini muncul petunjuk yang bisa mengarah kepada kejelasan duduk permasalahan yang terjadi. Dengan celana panjang hitam, kaos lengan panjang juga hitam, topi yang hitam pula. Mungkin Rudi bermaksud menyamarkan keberadaan di ketemaraman malam sehingga usahanya bisa membuahkan hasil. Mengendap-endap melaluio lorong kecil di belakang kos-kosannya Mia. Dia sudah mengetahui kira-kira dimana kamarnya Mia setelah diberitahu teman nyontek sekelasnya. Untung saja kamar Mia berada di pinggir tembok, di ruang yang paling belakang dari rumah yang lumayan besar ini. Selain itu ternyata lorong di belakang rumah tersebut sangat sepi, sehingga memudahkan Rudi untuk duduk menguping apa yang dibicarakan Mia di dalam.
Rudi duduk di bawah jendela yang ujung bawahnya setinggi setengah meter, dari situ dia bisa mendengar percakapan orang yang berbicara. Asalkan tidak berbisik-bisik Rudi bisa mendengar, karena kebetulan juga jendela kamar tersebut tebuka. Suasana di dalam kamar pun tidak begitu sepi, karena terdengar musik dari komputer Mia yang sedang memutar lagu Camelia, sebenarnya lagu lawas, tapi tidak tahu kenapa Mia kayaknya menyukainya. Di bibir kasur, Mia duduk, ternyata tidak sendirian. Di sampingnya ada seorang wanita yang kelihatannya lima tahun lebih tua daripada Mia. Mimik dari kedua wanita tersebut sangat tegang, apalagi Mia, dia benar-benar kusut. Ketidakenakan sepertinya sedang melanda kedua wanita tersebut, hal ini mulai diketahui Rudi karena sudah mulai menguping.
“Sudahlah Mia, apa yang sebenarnya kamu ragukan?” tanya wanita yang disamping Mia tersebut. “Banyaklah Mbak…” jawab Mia. Ternyata wanita tersebut adalah Mbaknya Mia.
“Jalaraning tresno saka kulina, maka kamu jangan ragu. Dia itu seorang yang sangat mapan dan dihormati di desa kita, dia juga lumayan gagah. Coba kamu bayangkan kondisi orang tua kita setelah kamu kabur dari rumah. Untung aja aku menemukanmu masih di sini, kamu tidak kabur kemana-mana. Pendirian bapak sudah tidak bisa digoyah, kamu ikuti sajalah. Tiada gunanya kabur…” rayu wanita tersebut.
“Mana mungkin aku senekat itu sama bapak, aku tetap ingin berbakti kepada bapak. Tapi apa aku harus menikah dengan duda anak tiga tersebut?” Mia berkata dengan suara lirih sangat menjiwai, terlihat air matanya mengalir membasahi pipi.
“Ya, memang begitulah. Apa mau dikata.”jawab Mbaknya Mia.
“Baiklah, aku akan mempersiapkan diri, lelaki itu memang sangat siap. Masa’ baru lamar, minta nikah sebulan kemudian. Sangat cepat.” tambah Mia sambil mengusap air matanya. Wanita satunya lagi tersenyum simpul sambil mengemasi pakaian-pakain, sepertinya hendak pulang kampung. Begitu juga Mia, akhirnya dia pun mengemasi berbagai barangnya.
Tiba-tiba kepala Rudi pening setelah mendengarnya.
***
Semua orang kini memandang Rudi layaknya orang terkenal. Di jalanan, semua mata tertuju padanya. Anak-anak pun tersenyum ceria sambil berlari-lari kecil. Bahkan segerombolan anak-anak terbahak-bahak karena berkejaran dengan Rudi, karena Rudi pun tertawa lepas, sungguh ceria. Tanpa ada rasa sungkan Rudi terus saja tertawa, padahal Rudi sudah masuk ke sebuah taman kota.
Tidak hanya di situ, karena di pasar pun Rudi masih terus menarik perhatian. Ibu-ibu pembawa sayuran terlihat terus memandangnya. Namun perempuan itu hanya diam, padahal Rudi sudah mengajaknya tertawa. Namun tiba-tiba muncul satpam menyeru kepada Rudi, “Pergi kamu orang gila, pergi sana!” hardik satpam tersebut. “Koq malah cengengesan, benar-benar orang gila, kalau ga’ pergi, aku pukul kamu…!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar