Kamis, 13 Agustus 2009

cerpen - Muslim Bermiskin
Malam ini sungguh ramai, para undangan datang dari segala penjuru untuk memberi selamat. Di situ diadakan bacaan Tahlil untuk memberikan selamat jalan, atau membaca Barzanji. Selanjutnya diteruskan dengan ramah tamah sampai lepas tengah malam. Pagi harinya para sepuh dan guru Muhammad Darwis serta kerabat-kerabatnya berangkat untuk bersama-sama mengantar keberangkatannya ke Station Spoor Tugu. Karena pada waktu itu Kota Praja, Yogyakarta masih sunyi dari kendaraan, maka umumnya orang berangkat haji dari rumahnya berjalan kaki bersama-sama dengan para pengantarnya. Lalu setelah bersalaman dengan keluarga putri dan bersembahyang shafar, Muhammad Darwis berangkat ke Station dengan penghormatan dari para sesepuh dan diiringi oleh beratus-ratus pengantar dengan dimulai seruan adzan dengan nyaring tetapi sajak merawan (nglangut), sehingga para penghormat dan pengantar banyak yang berlinang-linang air matanya karena terharu. Pada masa itu, urusan pergi haji masih dipandang sebagai berpergian yang maha penting dan sukar-sulit dalam perjalanannya. Sejam kemudian sampai di station, dan disitupun sudah penuh pengantar-pengantar yang sudah mendahului jalan. Muhammad Darwis dan pengantar-pengantarnya yang akan menuju Semarang sudah menumpang gerbong spoornya, tinggal menunggu lonceng berbunyi. Téng-téng-téng lonceng berbunyi, muadzin berseru Qomat, spoor berangkat menuju Semarang, selamat jalan dan selamat tinggal.
***
Marsudi, seorang pengemis seputar kota praja Mataram, merasakan takjub yang luar biasa atas perayaan yang begitu meriah. Selain itu juga sangat berbahagia, bagaimana tidak, begitu banyak orang yang memberi uang. Ya, memang sekedar uang, tapi karena itulah akhirnya dia rela menjadi peminta-minta. Sejak terbuang dari kampung, tuduhan yang pahit telah menimpa sejak dulu, bahkan sebelum dia terlahir dari rahim ibu. Tuduhan itu sangat biasa ketika zaman millenium, namun menjadi sangat memilukan ketika masyarakat masih berpadu dalam kehidupannya, mereka merasa jijik dengan seorang anak haram seperti Marsudi. Memang, ibunya pernah berlaku zina dengan seorang mandor bangunan, tapi apakah kemudian layak bagi seorang Marsudi untuk merasakan akibatnya dengan menjadi anak buangan yang hanya paham meminta-minta? Pernah ibunya mencoba menjadi seorang kuli di pasar, tapi, karena sudah payah lagi lemah, akhirnya tewas entah karena penyakit apa, seluruh masyarakat Mataram tiada yang mengetahuinya.
Marsudi kemudian tumbuh menjadi anak sebatang kara, atau mungkin setengah kara? Hidupnya sangat tidak layak, bahkan bisa dibilang bukanlah kehidupan manusia yang sedang dihadapi marsudi. Pada umur lima tahun, ibunya meninggalkannya. Seluruh kampung membencinya sebagai makhluk yang tidak diundang, harus diusik bahkan diusir saja. Lalu kehidupan menggiringnya menuju Kota Praja, pusat pemerintahan Mataram. Negara Ayodya, ada banyak kumpeni berhidung mancung dan berwajah pucat. Seluruh hasil bumi berkumpul, lalu menyebar hilang, entah kemana, pokoknya setiap silih berganti tiada henti-hentinya. Semuanya menyedot perhatian banyak orang berikut dengan uang yang digenggamnya. Marsudi masuk dalam kumpulan orang yang hidup tak tertampung. Tak bertempat tinggal, hanya memiliki gudang yang berisi beberapa lembar pakaian lusuh di pojok pasar, di lemari bekas penjual pakaian yang tidak digunakan lagi oleh pemiliknya.
Kini, sepuluh tahun sejak mulai sebatang kara, kondisi Marsudi belum banyak beranjak. Masih mengemis, bahkan menjadi pengemis sekaligus pemeran orang yang paling memelas dengan sangat ulung. Entah sebagai orang yang tiga hari belum makan, lima hari tidak mandi, orang yang buntung sebelah kakinya, orang yang baru enam hari ditinggal ibu bapaknya, dan masih banyak gaya lainnya. Marsudi memiliki berpuluh-puluh versi model pengemisan yang ideal, sayang, Marsudi tida bisa baca tulis, kalau bisa mungkin daftar petunjuk teknisnya akan menjadi pedoman praktis menjadi pengemis pemula yang sukses.
Yang paling disenanginya adalah ketika mangkal setelah pengajian jumat pagi yang diadakan di Masjid Kauman. Biasanya Kyai Muhammad Darwis yang mengisinya, atau kalau tidak bisa digantikan oleh murid-muridnya. Dia menunggu selesai acara, kemudian bersiap-siap menengadakan bathok kelapa sebagai wadah uang pemberian orang-orang yang baru saja berkunjung ke sana. Itulah saat panen, hasilnya tiap jumat pagi adalah sama saja dengan tiga hari mangkal di pasar dengan pasang ekspresi yang paling menyedihkan sekaligus menyebalkan. Namun, kebiasan mangkalnya pada pengajian, secara tidak sengaja namun terus menerus didengarnya menjadikannya orang yang paham berbagai ilmu agama. Dengan usia muda yang mudah menerima pelajaran dan kemudahan bahasa seorang Muhammad Darwis dalam menyampaikan ilmu-ilmu agama, hingga Marsudi pun lambat laun mau sedikit-sedikit beribadah. Setidak-tidaknya dia rela sembahyang, walau hanya ketika mau dan sempat saja, tapi lumayan bagus bagi kumpulan pengemis di Negara Ayodya ini.
”Hiks... hiks... hiksss...” seorang gadis menangis dengan jongkok di ujung barat kampung kauman, merapat di bawah benteng keraton yang kekar.
Marsudi yang sedang melewati tempat itu merasa tergerak untuk memberikan sedikit perhatian bagi gadis manis di bawah benteng itu. Dengan setengah jongkok Marsudi menanyakan, ”Ada apa gerangan hingga kamu menjadi menangis tersedu-sedu seperti ini?”
Gadis itu diam saja. Dia membuang pandangan ke tanah. Air matanya masih mengalir deras, hidungnya juga semakin deras memproduksi cairan. Dari dekat baru terlihat, pakaian gadis itu robek pada bagian pundak dan punggungnya. Serta tampak berbagai lebam yang membiru pada pelipis dan pipinya. Sepertinya gadis tesebut baru saja mengalami perlakuan kekerasan yang menjadikannya sangat tepukul. Wajar saja, usaha Marsudi untuk menanyainya dianggap lalu saja. Lalu Marsudi berlalu, entah kemana dia berlalu. Tapi, tiba-tiba kembali dengan membawa sebuah kelapa hijau yang sudah dibuka tinggal menenggak meminumnya. Diulurkannya kepada gadis itu, ”Ini, minumlah! Sepertinya kamu sangat kehausan.”
Gadis itu memandang wajah Marsudi dengan memelas. Matanya yang sembab menimbulkan iba luar biasa bagi siapa saja yang memandangnya. Dengan ragu tangan kuning langsat gadis itu menerima buah kelapa itu. Dengan lahap sekali, gadis itu meminumnya, seperti unta arab yang baru menyeberangi gurun sahara dan tak minum selama seminggu saja. Setelah puas gadis itu meletakkan buah kelapa yang tinggal sedikit airnya di sebelah kiri tempat duduknya. Marsudi duduk sejajar di samping kanannya dengan terus memandang, menunggu reaksi apa saja yang mungkin terjadi setelah ini.
”Terima kasih...” kata gadis itu. Kemudian diam.
Marsudi bingung. ”Ehm, maaf, boleh aku bertanya sesuatu?” gadis itu tetap saja diam. ”Kamu, rumahnya dimana? Sekarang mungkin saya bisa mengantarkanmu menuju ke sana.” gadis itu tetap saja dan masih diam, bahkan kian mengunci mulutnya.
”Kamu tidak usah takut, aku tidak ada maksud jahat apapun terhadapmu. Tenang saja, silahkan kamu ceritakan apapun yang baru saja terjadi. Mungkin dengan begitu akan mengurangi bebanmu.” Marsudi berhenti bicara. Tapi, gadis itu belum mau buka mulut, malah sepertinya meneteskan air matanya tanpa ada usaha menyadarinya. ”Sudahlah. Kalau kamu tidak mau bercerita juga tidak apa-apa. Kamu ikut aku saja gimana. Nanti ada tempat yang mungkin lebih layak bagimu untuk beristirahat. Jangan di sini saja, apalagi hari mulai gelap. Tidak baik bagi seorang gadis sepertimu.”
Gadis itu tetap diam saja!
Marsudi bingung, bagaimana dia harus menolong gadis itu. Lalu dia kembali diam, membuang pandangan ke hamparan jalan yang mulai sepi dari keramaian orang berniaga. ”Aku akan menunggumu hingga kamu mau buka mulut atau angkat kaki. Aku ingin menolongmu.” Mereka diam, menunggu sesuatu, entah itu apa adanya. Namun, angin malam Kota Praja mulai menyemilir, mengibas-ibaskan rambut. Terdengan sayup-sayup suara adzan dari Masjid Kauman oleh muadzin yang tua. Suaranya parau dan menyayat. Seperti simfoni akhir hayat, apakah panggilan sholat harus sangat tidak menarik seperti ini?
”Aku habis dipaksa melayani nafsu bejat prajurit keraton..."
”Eh, Apa?” tanya Marsudi setengah sadar.
”Aku seorang penari keraton. Sejak kecil aku sudah tinggal di sana. Berlatih menari setiap hari, menhibur keluarga raja adalah kebanggaanku. Tapi, tap, hikss... hiksss...
ikss...” gadis itu berhenti bercerita, isakannya mengganggu jalan ceritanya.
”Iya... kamu memang hebat.”
”Prajurit berandal itu merenggut keperawananku tadi siang. Dia memaksaku melayani nafsunya di rumah kosong selatan station spoor. Kamu tau kan kalau hal itu menyakitkan? Aku tidak mungkin mampu kembali ke istana. Mereka jijik dengan wanita kotor. Bahkan, aku sendiri pun jijik dengan diriku. Hidup seperti ini buat apa. Belum lagi kalau nanti bayi itu lahir. Mau ku beri hidup seperti apa dia? Sedangkan prajurit itu, dia kabur. Atau setidaknya kebal dengan hukum. Aku hanya makhluk lemah.”
Marsudi terkesiap. Seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Tapi, hal ini benar-benar nyata di depannya. Dai baru sadar, ternyata tak hanya dirinya di dunia ini yang mengalami musibah dan kesusahan. Hatinya tersentuh, sebagai anak yang lahir dari hubungan tidak jelas, dia merasa ada kesamaan nasib dengan kandungan yang mungkin ada di perut penari itu. Dia iba kepada wanita, sekaligus calon bayi, kalau memang ada.
”Kamu memang pantas menangis untuk itu. Maka, jika belum puas menangislah.” Marsudi bingung harus berkata apa, untuk sekedar menghibur.
”Wahai anak muda, aku ingin bunuh diri saja sepertinya.”
”Maksudmu?”
”Seperti ini...” tanpa disadari Marsudi, gadis tersebut ternyata sedari tadi sudah menyimpan pisau di sebelah kanannya. Dengan sekali ayun menancaplah pisau itu ke perut. Tidak puas dengan itu sepertinya, wanita itu kemudian menggerakkan pisaunya ke kanan. Terdengar lenguhan sekarat yang sangat menyayat ulu hati. Marsudi yang masih lugu, belum sempat mencegah terjadinya bunuh diri yang mengenaskan itu. Dia hanya ternganga mulutnya. Matanya terbelalak, sebesar gadis yang bunuh diri tadi, yang namanya belum sempat ditanyakan. Darah tidak hanya mengucur, tapi menciprat ke tanah.
Marsudi mundur, dengan posisi duduknya. Menyeret tubuhnya, penuh ketidakpercayaan, kengerian, katakjuban, dan perasaan apapun itu yang benar-benar menghujami lubuk hatinya. Dia ingin berteriak, tapi bibirnya kelu, suaranya hanya meracau. Pikirannya kacau. Hingga dia tiba-tiba beranjak, kemudian berlari, berlari sekuat tenaga, seakan dia ingin ikut mati dengan gadis itu. Sampailah di alun-alun. Ternyata tidak berhenti, kemudian terus ke timur, semakin kencang saja, seperti dikejar anjing herder saja. Dunia serasa terbalik dengan kejadian petang ini. Orang-orang yang baru saja selesai shalat maghrib terlihat heran melihat anak muda yang berlari dengan mimik setengah menangis-marah. Namun, akhirnya mereka tak acuh, banyak kejadian tidak wajar dianggap biasa di Kota Praja ini, termasuk petang ini.
Sampailah di pinggir kali code. Marsudi lalu meloncat masuk ke air. Dipukul-pukulnya air disertai teriakan meraung-raung mengerikan.
”Kenapa aku begitu bodoh? Kenapa aku tidak bisa menolongnya? Kenapa dia juga bodoh? Kenapa dia tidak menghargai nyawanya? Kenapa dia tidak berpikir tentang calon jabang bayi di perutnya? Kenapa dia tidak berpikir tentang masa depan yang tidak harus suram? Kenapa dia tidak merasa setelah musibah ada anugerah? Kenapa dia berpikiran sesaat untuk mengakhiri segalanya? Sekarang, apakah permasalahannya selesai? BODDDOOOHHHHHHH......”
Marsudi kemudian merunduk lemas.
”Kenapa aku tidak mampu mengatakannya. Padahal aku sangat latah terdengar dari Kyai Darwis ketika menunggu para jamaah pulang dari pengajiannya. Walau aku tidak amat paham maksudnya, tapi aku sangat hafal. Kini, memang aku baru mengerti maksud Mbah Kyai itu. Aku, sediki beruntung. Aku masih mau bertahan hidup. Namun hidupku menderita, tapi, tetap saja tak mau berusaha. Aku sekedar meminta tak berpeluh keringat. Itu saja yang, Ahhh....” Marsudi memukul udara setelah berbicara sendiri.
***
”Orang sembahyang belum tentu baik. Siapa tahu malah merugi, kenapa bisa begitu? Padahal sudah jelas-jelas sembahyang itu ibadah, sujud kepada Engkang Maha Perkaos. Berdoa, memohon ampunan, dan mengagungkan asmanya, tapi kenapa masih saja merugi? Tahu kenapa?” Kyai Darwis menerangkan kepada hadirin pengajian di serambi Masjid Kauman. Tapi semuanya diam. Padahal pertanyaan dan pernyataan ini sudah kali kelima diutarakan Kyai Darwis.
”Ya, yaitu orang yang sudah sembahyang namun masih menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan untuk memberi sebagian nafkahnya kepada orang miskin. Orang yang beribadah terus, kemudian melupakan orang-orang di sekelilingnya, tidak peduli kalau tetangga ada anak yatim yang papa, ada orang miskin yang tiga hari belum makan. Itu sama saja. Ibadahnya belumlah berarti yang sesungguhnya. Karena ibadah, terutama shalat, itu yang harus mendorong kita untuk terus dekat tidak hanya dengan Gusti Allah. Tapi dengan sesama manusia juga, anak yatim dan orang miskin termasuk di dalamnya.”
Marsudi sepakat dan bersemangat untuk mendengar dan melaksanakannya. Karena, kini di Masjid Kauman, dia menjadi pendengar pengajian Kyai Darwis bukan sebagai pengemis yang mangkal di depan gerbang Masjid Kauman. Tetapi salah satu murid yang rutin mendengar. Baginya kini, tangan diatas lebih baik dari pada tangan di bawah. Memang dia miskin, tapi tidak lantas menjadi peminta-minta. Maka, keahlian mengemisnya diganti dengan menjadi buruh gendong di pasar sebelah utara keraton. Tidak masalah apapun itu pekerjaannya, yang penting atas nama usaha keringat sendiri yang terjamin kehalalannya. Dia tidak ingin berputus asa tentang pahitnya hidup. Hidup adalah cobaan, jadi selama ada cobaan berarti itulah kehidupan masih berhembus. Pelajaran penari bunuh diri di petang itu memberikan pelajaran, usaha tidak boleh berhenti. Selama yakin bahwa Allah memberikan cobaan sesuai dengan kemampuan, maka aral yang menghadang akan terpecahkan kemudian tergantikan dengan jalan kemudahan menuju masa depan yang lebih baik.
Satu hal, dia juga menyadari, itulah Islam yang sangat indah dan menyejukkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar