Kamis, 13 Agustus 2009

cerpen-PENDIDIKAN MORAL PENDIDIK (PMP)

“Tidak bisa bapak kepala sekolah, itu tidak benar!” kata Pak Romi dengan wajah serius dan mata yang setengah keluar. ”Murid itu harus dikeluarkan, kesalahannya sangat besar. Dilaknat Tuhan nanti kita kalau hanya membiarkannya.”
”Ah kau hanya hiperbolis. Mana mungkin seperti itu. Sekarang zamannya realis. Yang kita bahas tentang kelanjutan studi si Manap. Itu yang harus kita pikirkan, butuh kesabaran dan kejernihan hati, buang jauh-jauh sana perasaan murkamu. Ini tentang masa depan anak bangsa, juga nama baik sekolah kita. Itu yang harus kita pikirkan sekarang, bukannya malah memaksa dengan murka.” balas Pak Basuki dengan nada agak berat, aneh bukan Pak Basuki itu, minta berpikir dengan jernih tapi tetap saja dengan nada marah?!
”Eh, Kau, aku tahu kau pamannya, makanya kau bela cecunguk itu. Sudah jelas-jelas dia bersalah, masih butuh pikiran panjang. Sudahlah, permasalahan ini sudah jelas duduk permasalahannya. Coba, kamu tanya saja kepada pot di atas meja kepala sekolah itu, dia pun akan mengiyakan apa yang aku katakan. Padahal ya, dia itu makhluk mati, bunga imitasi. Apa kamu lebih dungu dari pada abrakan itu. Pikir! Sekali lagi otakmu tolong dipasang. Jangan-jangan kamu sudah menjadi banci, mulai ikut-ikutan peka perasaannya. Mulai sok-sokan berbicara dengan hati. Mana kekejamanmu selama ini ha? Bencong!” kali ini Pak Romi tidak karuan ekspresinya. Kadang mencibir, senyum sinis, menganga, bahkan terkekeh-kekeh tidak jelas. Bisa diimajinasikan, seorang artis antagonis sinetron dengan tema perebutan pria setengah baya oleh dua orang wanita yang mengincar perusahaan bonafitnya.
”Stop! Kamu benar-benar keterlaluan. Apa yang kamu katakan cukup menggambarkan bagaimana kondisimu, terimakasih, wahai penjilat. Aku juga tidak percaya dengan lamisnya congormu yang lincah itu. Aku tahu, sudah ada lima wanita yang kamu permainkan, lebih tepatnya kamu bohongi. Mulutmulah yang pandai-pandai mengecoh dan membius lawan bicara. Tapi, hal itu tidak berarti bagiku. Aku seudah kebal. Kamu ingat kebohonganmu kemarin hah? Yang katanya ada rapat guru mata pelajaran, tapi malah kau pergi ke kota, pulang larut dengan pacar ketigamu. Sedangkan sudah dua jam menunggu seorang wanita lagi, padahal dia hanya akan menjadi pacar keenammu. Heh, apa kau masih mau mengelak? Aku yakin kamu punya tujuan khusus jika kayak gini. Tidak mungkin kamu membawa bendera penegakkan moral. Aku siap mencium jempol baumu kalau ternyata kamu tulus.” berondong Pak Basuki dengan entengnya. Padahal dihadapan mereka berdua ada sekumpulan orang yang sedang rapat wali kelas beserta kepala sekolah.
"Sekali lagi kamu membawa-bawa tema diluar ini, apalagi tentang pacarku, ku cincang kau!"
"Ayo, kalau berani!"
***
Di tempat lain, lain juga kalanya, yaitu sebuah pagi yang sejuk. Jalanan belumlah sepi dari pengguna motor yang menggeber-geber suara knalpotnya dengan tidak karuan, padahal sudah tidak enak sekali didengar, keropos alias karatan kemudian bolong. Parahnya tanpa rasa dosa masih menikmati borosnya dan produsen polusi paling menyebalkan dengan nama motor 2 tak. Asap putih keluar menggebu-gebu, suara tanpa bass yang meraung-raung, ketidakmampuan pengendara untuk menyesuaikan gigi dengan medan jalan semakin memekakkan telinga yang disampingnya. Bagi pengendaranya mungkin telinganya telah tersumpal kecuekan akut yang butuh operasi bedah syaraf dan diopname selama 1 tahun! -seperti biasa: kita nyaman dengan keburukan hingga orang lain tidak tahan, baru kita mengetahui, walau belum sadar sepenuhnya-
Manap, bergeleng-geleng kepalanya mengikuti irama jalannya bis kota yang tidak bisa kalem walau jalannya jelas-jelas rata. pandangan matanya kosong, menggambarkan gairah hidup yang melenyap, menghilang, entahlah mungkin dosanya sudah tidak tertanggungkan. hanya kerlip matanya yang semakin jarang, jemarinya bergerak tidak karuan. Suasana dalam bus semakin mendukung kebisuannya. Semuanya seakan dilakban, bahkan dijahit mulutnya beserta matanya untuk melihat bahwa Manap kini sedang gundah. Tak ada yang rela melewatkan detiknya untuk sekedar melirik, apalagi menanyakan gerangan apa yang menggulanakan seorang penceria seperti Manap.
Setelah sampai di sekolah pun dia berjalan gontai. pandangannya lurus, bukan ke depan tapi ke bawah. Mulutnya komat-kamit tidak karuan. Berlalu sudah gerbang masuk yang berdiri penjaga yang terlewatkan tanpa meninggalkan senyuman. Kemudian masuk ke kelas. Semuanya juga belum ada yang berinisiatif memecahkan kekeluan lidah si Manap. Pelajaran pun dimulai, Bu Guru Siti Muslichah, S. Pd. menerangkan tentang akhlak Islami yang menjunjung tinggi etika. Mengembangkan sayap sosial untuk memberdayakan anak yatim dan memberi makan orang miskin walau mereka nasrani durjana. Namun hingga sesi diskusi Manap tetap sunyi. Bu Guru akhlak tidak menunjukkan sikap kepedulian terhadap anak bangsa yang duduk di bangku terdepan penuh kenanaran mata yang teramat jelas!
"Teetttt..." bel telah berbunyi.
Manap hanya duduk di kursi. Matanya terus memandang meja coklat keruh penuh catatan-catatan kejahatan mungil -untuk mencontek- kemudian disebarluaskan kepada khalayak kelas atas nama kesetiakawanan abadi dan aplikasi sosialisme terpuji. Walau kini sama sekali tidak terbukti, lima menit, sepuluh menit, hingga bel masuk berbunyi kembali Manap masih saja terpekur tanpa makna dan hasil yang jelas tanpa kawan! Mana kesetiakawanan yang dijunjung dulu? Hah? Mau mengelak kawan?
"Pak Guru!" seru Manap tiba-tiba setelah Pak Sarbini menerangkan pelajaran Fisika tentang kelistrikan, membuka sesi tanya jawab. "Saya izin mau ke belakang sebentar."
***
"Brok...!!!???" Kepala Sekolah, Dr. Arifin menggebrak meja kerjanya di SMA Al Huda yang bercirikan Islam."Rapat kita pending 15 menit terlebih dahulu. Pak Basuki dan Pak Romi harap wudhu dulu!"
"Huu..." seru Pak Basuki.
Semuanya bubar meninggalkan ruangan rapat yang panas walau AC sudah mengerat-erat dengan paksa. Mungkin ketika ada jarum yang jatuh akan terdengar. Sruputan minuman teh kental pahit kepala sekolah menjadi sangat keras. Lima belas menit jelas-jelas bagi kedua kubu saat yang tepat untuk melobi seluruh peserta. Entah itu di kamar mandi, pojokan ruangan, beranda kelas, semuanya saling mempengaruhi.
Pak Romi yang lulusan IAIN jurusan Pendidikan Agama Islam sehingga di sekolah ini mengajar Akhlak Islami, menjadikan dia sangat responsif terhadap perilaku-perilaku para siswa. Apalagi dia juga menjadi salah satu tim kesiswaan sehingga sangat merasa bertanggung jawab terhadap penyimpangan-penyimpangan pelajar SMA swasta di kota besar ini. Baik itu yang paling kecil sampai yang besar serta seluruh siswa, sangat protektif-hegemonis. Cocok sebagai pemimpin negara besar seperti negara ini yang sering over acting dalam mengatur –lebih tepatnya mengobok-obok dengan dalih pembangunan segala sisi-. Makanya itu, dia adalah guru pasaran yang paling tidak diminati para siswa dalam kelas, mana mungkin juga dicita-citakan profilnya oleh para calon guru sekalipun dan dimanapun. Namun tetap bangga, terus menari dan tertawa menuju egoisitas absolut.
Beserta sepuluh pendukung, para guru visioner, Pak Romi sebagaikeynote speakernya, ”Tahukah engkau Pak Basuki itu juga penjahat kelamin. Seperti Manap yang maniak seks itu. Apa saja yang dikeluarkannya itu hanya untuk birahi mereka. Jangan sampai kalian ini terbawa-bawa mereka. Tahukah dikau-dikau sang Umar Bakri modern, kebejatan seperti itu sangat menular. Seperti wabah penyakit yang akut. Sekali sentuh akan terinfeksi. Lebih jahat daripada tetanus. Kalau sudah terkena, cepat-cepat yang lain lapor ke aku, tindakan selanjutnya aku beri istilah amputasi tendensi. Paham-paham yang sesat itu harus dipotong untuk diganti dengan tumbuhan kebenaran haqiqi seorang Romi. Begitu, paham? Cepat sebarkan berita ini seluas-luasnya!”
Setelah berkata seperti itu dengan membisu audiens bubar kemudian menyebar mencari-cari kelompok independen alias tidak memihak kepada siapapun. Menyebarkan pendapat tentang ini. Berusaha bagaimana caranya agar peminat paham ini semakin banyak, siapa tahu ada voting, kan nanti bisa menang sekaligus menangkis kecongkakan Pak Basuki –versi Pak Romi tentunya-. Ada yang berpropaganda sambil makan makanan ringan di ruang guru. Bahkan antar ruangan kamar mandi terjadi diskusi. Tak kurang para Ibu Guru sambil memperbaiki make upnya ngerumpi, apalagi kalau bukan bertema: propanda anti Basuki.
Di lain pihak, Pak Basuki selaku Wakil Kepala Urusan Kurikuluim sebenarnya jarang-jarang berpendapat sampai ngotot seperti ini. Padahal rapat sebenarnya sudah sejak 10.00 hingga menjelang ashar ini belum kelar juga. Biasanya setelah Duhur sudah selesai, namun demi si Manap lama dan alot rapat semakin nikmat. Ditemani Pak Andi, seorang Wakil Kepala Urusan Kehidupan Islami, orang terdekat yang paling bisa mempengaruhi kebijakan kepala sekolah, mereka membicarakan taktik apa yang mungkin bisa mereka lakukan. Dengan potensi kedekatan dengan penentu kebijakan, walau jumlah pendukung sedikit tentunya sangat riskan. Untuk itu Kepala Sekolah jangan sampai tidak mendukung Pak Basuki yang menginginkan si Manap tetap berada di sekolah menjadi anak didik yang semoga menjadi manusia yang seutuh-utuhnya.
Kemudian rekonsiliasi dengan kepala sekolah dimulai. Pak Basuki dan Pak Andi menghadap dengan sopan, kepala tertunduk, dan senyam-senyum tidak jelas. ”Bapak kepala sekolah sepertinya kelelahan ya?” Pak Basuki memulai pembicaraan dengan basa basi.
”Ah, aku masih fit koq. Cuman wajahku aja yang kusut.”
”Pak, kira-kira keputusan mana yang akan Bapak ambil? Semuanya berat kan Pak?” kata Pak Andi dengan mimik serius.
”Jelas!” Bapak Kepala Sekolah dengan lesu. ”Tapi aku ingin si Manap tetap di sekolah. Seperti kalian juga kan?”
”Tentu Pak. Bapak tau kan, orang tuanya adalah donatur utama sekaligus tetap sekolah ini kan? Sejak masih prematur hingga berkembang jauh seperti sekarang ini tidak pernah lepas dari perannya. Sudah selayaknya kita mengucapkan terima kasih, sebagai balas jasanya anaknya harus kita pertahankan menjadi siswa di sekolah ini. Kalau si Manap kita keluarkan, bisa-bisa dia mencabut kucuran dananya selama ini. Apa jadinya SMA Al Huda tanpa Bapak Lukito? Pahlawan kita.” sambung Pak Basuki.
”Bahkan tau tidak Pak Kepala Sekolah, Pak Lukito itu mau jadi calon legislatif lho...” tambah Pak Andi.
Pak Kepala Sekolah pun menjawab, ”Emang hubungannya apa?”
”Gak ada sih, tapi kita cuman harus mendukungnya. Itu saja.”
***
Intermezo tentang Manap:
Manap kembali ke kelas. Di sana suasana belumlah bersahabat. Manusia-manusia masih berkutat pada sebuah penantian agung. Aktivitas mulia yang sangat menentukan masa depan para calon pemimpin bangsa. Penerus sekaligus pengembang kehidupan menuju peradaban agung yang megah. Para kader yang terus-menerus terjejali dengan propaganda anti komunisme yang konon menolak Tuhan, walau mereka sebenarnya sadar dengan sesadar-sadarnya tentang Tuhan. Para teknisi yang diajari cara-cara mempermudah pekerjaan. Menumbuhsuburkan jiwa manusia serakah, bermodal sedikit-dikitnya, berusaha seenak-enaknya namun menginginkan semaian melimpah ruah bak wedus gembel Gunung Merapi. Apa bisa ya? Semuanya dilakukan dengan sistem rapi yang telah didewakan melebehi pemikir-pemikir yang merancangnya. Tak ada yang menyalahkan sistem dengan alasan apresiasi karya pendahulu –padahal hanya malas berpikir bagaimana sebaiknya-. Walau begitu tetap tanpa hentinya memperbaharui sub sistem yang produktif memenuhi kantong para cukong pemerintah. Buku-buku pelajaran, proyek perbaikan atap, keramikisasi, dan tethek bengeknya.
Penantian itu adalah sekedar sebuah jawaban ulangan Bahasa Indonesia Bab Sejarah Sastra Indonesia. Semuanya bingung. Guru Killer, soal tidak nggennah, apalagi dengan jawabannya nanti.
Bagi Manap, bedebah dengan itu semua! Dia hanya ingin memandang, karena pandangannya telah hilang. Itu saja.
***
Para guru kembali berkumpul. Semuaya hening. Tak ada keramaian.
”Baik, rapat kita mulai kembali.” kata Kepala Sekolah lalu memandang seluruh hadirin yang sangat antusias. Entah karena jatah makan siangnya yang lezat atau perhatian penuh bagi pendidikan. ”Setelah saya pikir-pikir, dengan tempo yang sesingkat-singkatnya tentunya, demi peralihan pendidikan bemutu kita, atas nama manajemen pelayanan rapi institusi kita, ...” bapak Kepala Sekolah terhenti sejenak. ”Ehm... ehm... ehm... sruput!” segelontor teh manis memasuki tenggorokan kering Kepala Sekolah. ”Saya akan mengeluarkan...”
”Hore...” teriak Romi cs. Beberapa diantaranya senyam-senyum tidak jelas, tertawa riuh renyah, saling bersalaman.
”Supriyanto, kamu tidak bisa seenaknya!” kata Pak Basuki yang membentak Kepala Sekolah dengan namanya yang asli. Kali ini mukanya memerah. Tidak hanya itu. Dia maju. Tapi tidak jadi karena ditarik Pak Andi dengan sekuat tenaga.
”Tenang semuanya!” bentak Kepala Sekolah. ”Hargai saya sebagai Kepala Sekolah ini. Dengarkan saya sampai selesai. Saya, saya hanya akan mengeluarkan Romi Pattirajawane dan Muhammad Basuki. Itu saja”
Semuanya melongo.
”Ingat, aku tahu Pak Romi, kamu ini adalah politikus kecamatan ini. Kamu ingin menjegal Manap dan keluarganya dengan skandal seksnya Manap supaya Pak Lukito, bapaknya Manap tidak terpilih menjadi anggota legislatif. Dan kau Basuki, kau atas nama kelangsungan sekolah telah mengorbankan kemuliaan pendidikan, seperti Romi itu. Kamu selalu mendapat 40 % dari kucuran dananya Pak Lukito setiap bulan. Dia memang donatur, tapi selalu kamu ambil sebagiannya sebelum masuk sekolah ini. Dan kalau Manap keluar sangat mungkin juga danamu akan terhenti. Tidak masalah bagiku permasalahan kalian berdua. Tapi, pendidikan adalah kemuliaan. Itu camkan!”
Semuanya tidak hanya melompong, tapi menganga bonus melotot.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar