Kamis, 13 Agustus 2009

cerpen - TUHAN

Di bawah pohon kelapa aku merenungkan percik-percik ingatan yang berserakan luas mengitari pikiranku. Aku percaya kalau percik ini hanya kecil. Namun ketika terkumpul pastilah menjadi besar, entah bagaimana caranya itu. Apalagi percik itu tentang masa lalu. Ketika peristiwa baru mulai terukir. Ketika pikiran mulai dibutuhkan. Ketika kebutuhan tak kuat hanya sekedar diangankan. Itulah ketika peristiwa ini bermula kemudian menjadi akhir dari sebuah keyakinan.
***
Di pinggir hutan.
Aku duduk di bawah pohon Jati yang besar dan tinggi menjulang bak mencakar dan mengais ujung langit yang mustahil untuk dicapainya. Namun kebesarannya cukup menjadikanku nyaman untuk bersembunyi dari apa pun. Tak akan ada yang tahu dan mengenaliku kecuali aku berteriak lalu menebang pohon itu sehingga orang merasa terusik dengan gaduhnya. Tapi, sekali lagi, ini tuh di pinggir hutan, mana ada yang mendengar kegaduhan itu, jarak dengan kampung terdekat 5 km.
Yang lebih aku takutkan adalah orang dapat mengetahui kegaduhan hati dan keruwetan pikiranku. Masalah ini sudah cukup menjadikanku menggigil untuk pulang. Pandangan orang seperti pedang tajam dan berkilat yang siap memutilasi jasadku, ucapan mereka seperti bongkahan cadas segajah, matilah pastiku jika menimpa raga rapuh ini. Jalan yang terbentang membatasi kebebasan untuk berlalu kemanapun aku suka, karena dengan begitulah tetanggaku siap memergoki kemudian mencaci maki. Itu kalau beruntung, bisa-bisa aku malah dikeroyok kemudian mengkonsumsi bogem mentah, kepalan tangan tukang batu yang kasar mendarat jahat di pipi halusku, atau raungan beserta gigitan penuh amarah Lek Ponirin.
Walau aku tidak bisa menyalahkan, wajar saja, aku pun akan berlaku sama jika aku adalah Lek Ponirin. Warni, putri cantiknya yang telah beranjak dewasa, telah aku sakiti. Sebenarnya, masa kecilku lebih banyak dengan Lek Ponirin. Ayahku telah meninggal ketika aku berumur lima tahun karena terkena serangan jantung mendadak setelah subuh, padahal sebelumnya dia baru saja mengumandangkan suara paraunya yang kian menyayat dalam azan subuh. Sehingga cukup menjadikan tetangga-tetanggaku tidak percaya ketika ada kabar meninggalnya. Kemudian tiga bulan setelah itu ibuku tewas tertabrak truk pengangkut rencek yang ugal-ugalan di perbatasan kampung. Sehingga aku pun sebagai anak tunggal menjadi sebatang kara. Maka Lek Ponirin mengambilku sebagai anak angkatnya menjadi kakak dari Warni, anak gadisnya yang dua tahun lebih muda dariku. Mereka sekeluarga sangat menyayangiku, bahkan seandainya aku belum tahu kalau ibu dan bapakku yang asli telah meninggal, maka aku pasti tidak akan merasa bahwa Lek Ponirin adalah pamanku karena saking sayangnya mereka. Namun ketika besar, malah aku menjadi anak durhaka. Dengan sengaja, Warni aku paksa untuk melayani nafsu syahwatku yang tidak terkontrol. Walau sebenarnya aku merasa bahwa itu bukan sepenuhnya salahku, Warnilah yang patut dipermasalahkan. Kenapa dia cantik dan begitu menarik. Apalagi aku tinggal serumah dengannya sejak kecil, maka benih-benih nafsu itu terus terakumulasi. Bahkan, seringkali tanpa sengaja pakaian yang dikenakan Warni tersingkap sehingga memberiku peluang untuk menikmatinya, tapi anehnya dia tidak marah, malah senyam-senyum sendiri. Hingga hasrat itu akhirnya membuncah pada malam kamis dua minggu yang lalu. Ketika itu Lek Ponirin dan istrinya sedang keluar sehingga hanya aku dan Warni di rumah. Ketika hendak beranjak tidur itulah Warni aku paksa. Esoknya aku sudah melarikan diri. Penduduk kampung pasti memburuku kemana pun aku beringsut.
Akhirnya aku sembunyi di hutan. Meradang harapan yang selama ini aku punyai. Sejak kecil aku telah akrab dengan Warni, bermain bersama, seperti saudara. Namun ketika dia tumbuh besar aku malah mencintainya. Permasalahannya dia malah tidak menganggap seperti itu, dia masih merasa menjadi adikku yang harus dilindungi. Sebenarnya, aku ini lelaki yang perkasa, menghampiri Lek Ponirin untuk melamar Warni menjadi istriku. Tapi mereka menolaknya karena menganggap aku sudah menjadi saudara bagi Warni dan keluarganya tanpa harus menjadi suaminya. Tapi, aku, aku pengin lebih!!!
”Kriii..k, kriii...k, kriii...” bunyi jangkrik yang seperti gaib karena aku tidak tahu dimana mereka berada namun mendengar dengan jelas bunyi mereka. Aku ingin memakannya, aku benar-benar lapar. Sungguh, sejak seminggu ini belum kembali ke kampung. Masihku bertahan dengan berburu di hutan, menangkap ikan di laut, atau membakar tumbuh-tumbuhan yang mungkin bisa aku nikmati. Tapi hal itu tidak bisa bertahan lama. Minggu ini saja aku masih benar-benar kekurangan makanan. Tubuhku kotor dan letih, pikiranku untuk membayangkan bagaimana rupaku sudah tidak mampu lagi. Hidup di hutan tanpa rumah, makanan, dan air bersih sungguh menyiksa.
***
Aku berlari kencang-kencang dengan Warni. Langkahku tidak hanya semakin lebar tapi juga semakin cepat. Sebenarnya aku ingin terbang melayang-layang. Terhampar lautan benar-benar biru. Kapal tua itu sudah merapat di dermaga yang kian terkikis oleh ombak yang ganas.
”Ayo cepat Mas...” seru Warni.
“Iya, hati-hati.” balasku. Aku, ehm, sungguh lucu saat ini. Melarikan wanita yang sehabis ku perkosa. Tanpa paksaan, dia malah yang memohonku untuk melarikan dirinya. Aku sendiri tidak percaya dengan yang terjadi ini. Semula, aku berpikir bahwa gadis pujaanku ini menjadi marah besar dan menyumpahku dengan serapah pedas yang berlaku hingga tujuh turunan. Namun hal itu tidak berlaku saat ini, setidaknya bagi aku dengan bidadariku karena dia ternyata mencintaiku dan ingin hidup bagaimanapun keadaannya denganku, aneh bukan?
Kini kapal ada di hadapan menuju pulau seberang, yang pasti masih antah berantah bagi kami berdua. Tanpa tujuan yang jelas bagaimana kami akan tertampung, dengan bermodalkan nekad yang membuncah, dengan harapan sekedar bertahan hidup di tanah pelarian. Itulah setidaknya, tapi dalam kenyataannya untuk mencapai sana saja sepertinya susah. Bertuahkan nyawa, berbulatkan niatan yang tak sekedar bola, melainkan bongkahan sebesar Jupiter dengan bumbu-bumbu keraguan seperti belasan planetnya. Langkah ini terus saja berrotasi, berlalu, untuk kemudian sekedar mengikuti waktu. Namun pulau seberang itu katanya bertuah. Katanya juga orang bisa menjadi kaya, buktinya, tetanggaku pulang dengan tangan setumpuk uang walau hanya menjadi petani di pulau seberang itu. Label transmigran telah meningkatkan kesejahteraannya.
Kampung Warni sekaligus kampungku menyisakan lara di raga juga hatiku. Namun lara itu sedikit terobati ketika muncul seorang Warni yang tahu dimana aku akan bersembunyi -atau mungkinkah dia memang memiliki insting untuk terus dalam lindunganku tak peduli pernah aku robek keperawanannya-.
Lalu dia berkata, ”Sudahlah, kamu jangan kawatir denganku. Aku bukannya marah kepadamu, tapi aku ternyata menyukainya karena aku memang mencintaimu.”
”Jangan! Kamu jangan mencintaiku. Itu akan menjadikanmu semakin menderita. Karena namaku akan segera terukir pada nisan abu-abu di perkampungan masa depan ujung desa. Buat apa menjadikanmu sebagai bidadari yang merindukan Rahwana durjana?”
”Sebentar, jangan diteruskan..” katanya sambil menempelkan telunjuknya pada bibirku. ”Kita akan pergi dari sini. Kita mengukir kelanjutan kehidupan yang tinggal menjalankan. Aku menyukaimu, sekarang tambah menyukaimu. Kamu menyadari bahwa kamu nista bagiku sudah lebih dari cukup untuk memasrahkan diri ini kepadamu.”
Warni memelukku. Sungguh erat. Nafasku terasa sesak.
”Aku juga mencintaimu, Warni...” bibirku komat-kamit tak tentu. Merancau kacau, bersuara tak bermakna, mungkinkah ini mantra. Tapi air mataku tak henti jua menetes, hidungku sesenggukan, hatiku berbunga kemudian melambung tinggi menggapai nirwana karya anganku sendiri.
***
Kapal ini mengaduk-aduk perutku sehingga aku mabuk, Warni tanpa terkecuali. Apalagi aku merasakan pengapnya gudang pembawa barang dalam kapal menuju Kalimantan!
***
”Bedebah...!!!” itu kataku. Maaf, maaf kepada siapapun yang telah atau sedang mengenalku. Aku sering memaki, apalagi kahidupan ini lebih sering mengolok-olok tekadku. Dia bukan menguntungkan, menyenangkan, jauh dari mengenyangkan. Kupingku menjadi lebar setelah mendengar riuhnya dunia mengembarakan segala kebobrokan. Kalam Illahi tak lagi merdu, wajar saja, selama sewindu aku sudah melupakannya. Tak sekedar bunyinya tapi juga isi dalamnya. Yang aku tahu adalah aku hidup sendiri kebetulan ada Warni yang tanpa sengaja menemukanku hidup. Mungkin kemudian dia iba lalu ingin menolongku.
Kini, rumah, maaf, sebetulnya pagupon ini bukanlah sebuah istana. Warni sering aku maki. Buyung anak kami sering aku kasari. Walau begitu aku merasa bahagia, karena saat ini setidaknya aku masih memiliki gagasan untuk mengubah kebiasaan buruk ini walau aku tidak tahu kapan akan terlaksana. Yang penting ada usaha untuk memikirkannya bukan?
Kembali di bawah pohon kelapa. Aku melepas lelah setelah memotong-motong pohon jati curian bersama kelima temanku kemudian dialirkan melalui sungai. Dengan ditandai identitas khusus kelompok kami maka kami akan mengambilkan ketika di hilir kelak. Kami kemudian keluar dari hutan, kecuali aku. Aku masih di pinggir hutan kemudian memandang hamparan, aku bingung namanya apa. Yang pasti ini adalah bekas hutan. Inilah jarahan pertama kalinya ketika aku menginjakkan kaki di bumi Boneo. Tanpa surat, tanpa saudara, juga pasti tanpa bekal uang ataupun makanan. Aku memberanikan diri untuk bergabung dengan kelompok pencuri kayu kecil-kecilan. Tanpa ada niatan untuk menghancurkan hutan tapi sekedar menyambung hidup, aku babat habis seluruh yang tumbuh untuk dijadikan alat sambung kehidupan. Aku merasa tidak berdosa karena dosa bagiku tidak ada. Buat apa bercita-cita surga karena sejak kecil aku telah merasakan neraka. Maka aku tidak akan takut menghadapi neraka dalam bentuk apapun itu! Atau malah aku tidak percaya dengan neraka-surga?!
tuhan, saat ini memang aku tidak mengakuimu -kata ini diawali dengan huruf kecil, benar-benar tidak percaya tuhan!-. Apalagi di tlatah rantauan ini tidak menimbulkan keajaiban-keajaiban yang bisa menggugah ranah pikiran ketuhanan. Semakin menguatkanku saja bahwa tuhan itu pembohong. Orang-orang yang sering bersedekap kemudian komat-kamit memohon kebahagiaan itulah orang yang telah terracuni. Mereka percaya kekuatan-kekuatan yang sama sekali tidak pernah aku rasakan. Sejak dulu, usaha dari lentikkan jari dan ayunan tanganlah yang menghasilkan. Adapun pengharapan itu angan-angan pemalas yang berharap keajaiban tanpa usaha nyata! Bagaimana bisa bahagia? Begitu pikirku.
”BUUGGGGGG...!!!!”
Aku benar-benar tersentak kaget. Mataku terbelalak, jantungku berdegup kencang, dan jemariku bergetar-getar. Tahu tidak, sebenarnya penyebabnya sederhana, hanya karena ada sebuah kelapa tua yang jatuh dari atas pohon. Biasa bukan? Tapi, jatuhnya hanya berjarak 10 cm dari kepalaku. Sehingga aku merasakan angin kencang yang menyertai jatuhnya. Kalau mengenai pasti tak hanya sekedar harus berganti nama, berganti dunialah pastinya.”Ya Allah...!” kataku tiba-tiba menyertainya kemudian tanpa ku sadari.
Kediaman ini semakin lama. Karena aku kemudian merenung. Sepertinya tanpa sadar aku mengakui bahwa membutuhkan Tuhan –kali ini diawali dengan huruf besar-. Apakah betul ya, Tuhan itu harapan menjanjikan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar