Jumat, 14 Agustus 2009

LIPATAN (FOULDING) DAN PATAHAN

LIPATAN ( FOULDING )


• Lipatan merupakan struktur seperti gelombang yang terhasil akibat canggaan perlapisan, foliasi dan permukaan planar yang lain pada skala yang berbagai.
• Lipatan terbentuk di persekitaran canggaan yang berbagai, daripada permukaan kerak bumi yang rapuh hingga ke bahagian dalam bumi yang mulur.
• Lipatan boleh berbentuk secara terbuka dan landai hingga ke sangat ketat dan berlaku secara berasingan atau berkumpulan.

JENIS-JENIS LIPATAN:
1. Lipatan Tegak terjadi karena pengaruh tenaga radial, kekuatan sama atau seimbang dengan tenaga tangensial.
2. Lipatan Miring terjadi karena arah tenaga horizontal tidak sama atau tenaga radial lebih kecil dari pada tenaga tangensial.
3. Lipatan Rebah terjadi karena tenaga horizontal berasal dari satu arah.
4. Lipatan Menggantung terjadi karena hanya tenaga tangensial yang bekerja.
5. Lipatan Berpindah lipatan yang terjadi karena adanya tenaga tangensial yang bekerja.
6. Lipatan Isokinal terjadi karena masuknya lembah lipatan kedalam struktur puncak akibat tidak seimbangnya tenaga tangensial dan radial.

PATAHAN
Patahan, adalah retakan sepanjang blok pada kerak bumi yang pada kedua sisinya bergerak satu dengan yang lainnya dengan arah yang paralel dengan retakan tersebut.
JENIS-JENIS PATAHAN
A. PATAHAN SLENK / GRABEN / TANAH TURUN, yaitu bentuk patahan yang mengalami pemerosotan ke bawah di antara dua bagian yang tinggi atau disebut juga lembahan patahan..
B. PATAHAN HORST / TANAH NAIK, yaitu bentuk patahan yang mengalami kenaikan di antara dua bagian yang rendah, atau disebut juga puncak patahan.
C. DEKSTRAL terjadi jika kita berdiri potongan yang berada di depan kita bergeser ke kanan.
D. SINITRAL, jika kita berdiri di potongan sesar yang satu dan yang lain bergeser ke kiri.
E. BLOCK MOUNTAIN adalah sebuah gunung yang terjadi oleh pecahan dan kumpulan dari batuan-batuan besar yang berasal dari karang.
F. DOME adalah elemen struktural Arsitektur ya yang mirip dengan rongga atas setengah dari asphere. Kubah struktur yang terbuat dari berbagai bahan memiliki panjang garis keturunan memperluas arsitektur menjadi prasejarah.

Profile

Profile Presiden Soekarno
Soekarno lahir 06 Juni 1901 di Surabaya dari pasangan Sukemi Sosrodihardjo(seorang guru) dan Ida ayu Nyoman Rai(bangsawan Bali) yang lebih dikenal Idayu. Mula-mula namanya Koesnososro Soekarno, tetapi karena sering sakit waktu kecil, kemudian di panggil Soekarno saja.
Pada usia hampir 13 tahun, Soekarno tamat sekolah Dasar Bumiputera di Mojokerto,melanjutkan kesekolah dasar Belanda dan lulus pada usia 14 tahuN dengan sekaligus mengantungi ijazah ujian calon pegawai negeri rendahan. Melanjutkan ke HBS di Surabaya dan tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto, seorang pemimpin sarekat islam, setelah lulus masuk tehnische Hoge School, Institut Teknologi Bandung, sambil terus bergerak dibidang poliyik yang dimulai sejak di Surabaya. Soekarno memimpin studi klub di Bandung bersama iskaq dan anwari, lulus lulus sebagai insinyur tahun 1925.




Mohammad Hatta
Sang Proklamator

Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.

Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.
Wahid Hasjim


Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914 – wafat di Cimahi, Jawa Barat,19 April 1953 pada umur 38 tahun) adalah pahlawan nasional Indonesia dan menteri negara dalam kabinet pertama Indonesia. Ia adalah ayah dari presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid dan anak dari Hasyim Asy'arie, salah satu pahlawan nasional Indonesia. Wahid Hasjim dimakamkan di Tebuireng,Jombang. Saat pendudukan Jepang yaitu tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1943 beliau ditunjuk menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI. Menjelang kemerdekaan tahun 1945 ia menjadi anggota BPUPKI dan PPKI.
Wahid Hasjim meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi tanggal 19 April 1953.

Abdul Kahar Muzakir atau Abdoel Kahar Moezakir



Abdul Kahar Muzakir atau Abdoel Kahar Moezakir, lahir di Gading, Yogyakarta pada tanggal 16 April 1907. Beliau merupakan Pegawai Kantor Kooti Zimu Kyoku Yogra bagian Ekonomi.


Alexander Andries Maramis


AA Maramis
Alexander Andries Maramis (1897 - 1977) adalah anggota KNIP, anggota BPUPKI dan Menteri Keuangan pertama Republik Indonesia dan merupakan orang yang menandatangani Oeang Republik Indonesia pada tahun 1945. Adik kandung Maria Walanda Maramis ini menyelesaikan pendidikannya dalam bidang hukum pada tahun 1924 di Belanda.
Pada waktu Agresi Militer Belanda II, AA Maramis berada di New Delhi, India dan ditugasi untuk memimpin Pemerintah RI dalam pengasingan. Ia kemudian menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Darurat yang diketuai oleh Sjafruddin Prawiranegara.


Raden AbikusnoCokrosuyoso Tjokrosoejoso, Abikoesno, Raden. Ponorogo16-06-1897 Architectparticulir, Ketua bag Umum kantor pusat Jawa Hookoo Kai.



HAJI AGUS SALIM



Haji Agus Salim, lahir di Bukit Tinggi, Sumatera Barat pada tanggal 9 Oktober 1884. Tokoh yang pada waktu kecil mempunyai nama Masyhudul Haq adalah ulama dan tokoh pejuang kemerdekaan dari Minagkabau, Sumatera Barat.
Beliau menempuh pendidikannya di ELS (Europeese Lagere School) dan HBS di Jakarta. Agus Salim terkenal sebagai orang yang cerdas dan pandai, beliau menguasai sembilan bahasa asing, diantaranya Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Turki dan Jepang. Pada waktu muda beliau merantau sampai ke Arab Saudi untuk memperkaya pemikiran dan ilmunya. Haji Agus Salim pernah menjadi penerjemah di Konsulat Belanda di Jeddah Arab Saudi.
Achmad Soebardjo




Achmad Soebardjo Djojoadisurjo (lahir di Karawang, Jawa Barat, 23 Maret 1896 – wafat 15 Desember1978 pada umur 82 tahun) adalah Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama. Soebardjo meraih gelarMeester in de Rechten di Universitas Leiden Belanda pada tahun 1933.

Mohammad Yamin


Prof. Muhammad Yamin, SH (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903 – wafat di Jakarta,17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan diTalawi, Sawahlunto
Beliau merupakan salah satu perintis puisi modern di Indonesia, serta juga 'pencipta mitos' yang utama kepada Presiden Sukarno.




















SEJARAH TENTANG KEGIATAN BPUPKI


Memasuki awal tahun 1944, kedudukan Jepang dalam perang Pasifik semakin terdesak. Angkatan Laut Amerika Serikat dipimpin Laksamana Nimitz berhasil menduduki posisi penting di Kepulauan Mariana seperti Saipan, Tidian dan Guan yang memberi kesempatan untuk Sekutu melakukan serangan langsung ke Kepulauan Jepang. Sementara posisi Angkatan Darat Amerika Serikat yang dipimpin oleh Jendral Douglas Mac Arthur melalui siasat loncat kataknya berhasil pantai Irian dan membangun markasnya di Holandia (Jayapura). Dari Holandia inilah Mac Arthur akan menyrang Filipina untuk memenuhi janjinya. Di sisi lain kekuatan Angkatan Laut Sekutu yang berpusa di Biak dan Morotai berhasil menghujani bom pada pusat pertahanan militer Jepang di Maluku, Sulawesi, Surabaya dan Semarang. Kondisi tersebut menyebabkan jatuhnya pusat pertahanan Jepang dan merosotnya semangat juang tentara Jepang. Kekuatan tentara Jepang yang semula ofensif berubah menjadi defensif (bertahan).
Kepada bangsa Indonesia, pemerintah militer Jepang masih tetap menggembar gemborkan (meyakinkan) bahwa Jepang akan menang dalam perang Pasifik. (untuk lebih jelasnya, Anda dapat membuka kembali materi Perang Pasifik pada modul sebelumnya).
Pada tanggal 18 Juli 1944, Perdana Menteri Hideki Tojo terpaksa mengundurkan diri dan diganti oleh Perdana Menteri Kaiso Kuniaki. Dalam rangka menarik sipati bangsa Indonesia agar lebih meningkatkan bantuannya baik moril maupun materiil, maka tanggal 19 September 1944 PM Kaiso Kuniaki mengeluarkan janji kemerdekaan kelak kemudian hari bagi bangsa Indonesia. Janji kemerdekaan ini sering disebut dengan istilah Deklarasi Kaiso.
Sejak saat itu pemerintah Jepang memberi kesempatan pada bangsa Indonesia untuk mengibarkan bendera merah putih berdampingan dengan Hinomaru (bendera Jepang), begitu pula lagu kebangsaan Indonesia Raya boleh dinyanyikan setelah lagu Kimigayo. Di satu sisi ada sedikit kebebasan, namun di sisi lain pemerintah Jepang semakin meningkatkan jumlah tenga pemuda untuk pertahanan. Selain dari organisasi pertahanan yang sudah ada ditambah lagi dengan organisasi lainnya seperti: Barisan Pelajar ( Suishintai), Barisan Berani Mati ( Jikakutai) beranggotakan 50.000 orang yang diilhami oleh pasukan Kamikase Jepang yang jumlahnya 50.000 orang (pasukan berani mati pada saat penyerangan ke Pearl Harbour).
Pada tanggal 1 Maret 1945 Panglima tentara ke-16 Letnan Jendral Keimakici Harada, mengumumkan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia disingkat BPUPKI/Dokuritsu Junbi Cosakai.
Tujuan pembentukan badan tersebut adalah menyelidiki dan mengumpulkan bahanbahan penting tentang ekonomi, politik dan tata pemerintahan sebagai persiapan untuk kemerdekaan Indonesia.

SEJARAH TENTANG KEGIATAN PPKI

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima di Jepang, oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian BPUPKI berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Zyunbi IInkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Syahrir memberitahu penyair Chairil Anwar tentang dijatuhkannya bom atom di Nagasaki dan bahwa Jepang telah menerima ultimatum dari Sekutu untuk menyerah. Syahrir mengetahui hal itu melalui siaran radio luar negeri, yang ketika itu terlarang. Berita ini kemudian tersebar di lingkungan para pemuda terutama para pendukung Syahrir.

Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.

Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.

Sementara itu Syahrir menyiapkan pengikutnya yang bakal berdemonstrasi dan bahkan mungkin harus siap menghadapi bala tentara Jepang dalam hal mereka akan menggunakan kekerasan. Syahrir telah menyusun teks proklamasi dan telah dikirimkan ke seluruh Jawa untuk dicetak dan dibagi-bagikan.

G L O B A L I S A S I

Apa yang terjadi di kawasan Asia Pasifik dan Negara-negara ASEAN, khususnya mengenai perubahan-perubahan yang melanda dunia dan kehidupan umat manusia dewasa ini itulah yang disebut sebagai proses globalisasi yang telah menjadikan dunia tanpa batas.
Pada awal abad ke-17, perkembangan teknologi berkembang dengan cepat. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat sesuai dengan adanya perkembangan di tengah kemajuan dunia.
Proses globalisasi yaitu perubahan-perubahan yang melanda dunia dan kehidupan umat manusia dewasa ini.
Perubahan-perubahan yang terjadi dimulai dengan adanya dua perubahan besar, yaitu:
1. Pada penghujung tahun 1992 runtuhnya rezim komunis yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1990 dan melunturnya paham komunis yang disertai lahirnya paham demokirasi.
2. Munculnya kekuatan ekonomi baru di Asia Timur yang sejalan dengan perkembangan dan perubahan dalam bidang teknologi merupakan tanda perubahan di bidang ekonomi dan politik
Pengaruh bagi perilaku manusia akibat dari Perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat diantaranya :
a. Meningkatnya taraf hidup rakyat.
b. Kualitas manusia makin tinggi
c. Meningkatkan kemampuan
d. Bertambahnya kreativitas.
e. Peka terhadap perubahan
f. Meningkatnya kepercayaan diri
g. Sanggup hidup mandiri.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan lingkungan antara lain:
a. Kemajuan teknologi.
Perkembangan yang dapat dirasakan dalam bidang teknologi, antara lain:
1. Bidang komunikasi / informasi
Contohnya lewat media cetak, media elektronika, HP dan yang lainnya.
peledakan bom di Bali yang menewaskan ratusan manusia yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002, dalam waktu singkat dapat diketahui oleh masyarakat luas di luar pulau Jawa bahkan di seluruh dunia
2. Bidang transportasi
Seseorang tidak harus berlama-lama menunggu transportasi untuk mencapai tempat tujuan yang diinginkan karena selalu bisa dengan mudah menggunakan sepeda, kereta atau mobil yang kita miliki
3. Bidang industri
Pekerjaan-pekerjaan berat sudah dengan mudah dapat dilakuan karena tersedianya kebutuhan hidup manusia yang siap pakai, misalnya mesin cuci, alat memasak nasi yang kesemuanya dapat digunakan secara otomatis dengan hanya memencet tombol-tombol tertentu Itu semua merupakan bukti nyata adanya era globalisasi.


b. Pendidikan masyarakat
Pada umumnya masyarakat sekarang lebih giat dalam menimba ilmu karena pendidikan mampu untuk mengubah perilaku manusia dari masyarakat terbelakang (tradisional) menjadi masyarakat moderen yang memiliki pengetahuan.
c. Pertambahan penduduk yang cepat.

Contoh-contoh barang hasil produksi yang banyak dipakai dalam masyarakat sebagai hasil produksi modern, antara lain:
1. Barang-barang keperluan rumah tangga :
a. Mesin cuci
b. Telepon
c. Kipas angina
d. Televisi (TV)
e. Rice cooker (penanak nasi)
f. Blender
g. Kompor gas
h. Dan lain-lain
2. Barang-barang keperluan kantor :
a. Telepon
b. Komputer
c. Kalkulator (mesin hitung)
d. Pendingin udara (AC)
e. Penghisap debu
f. Mesin foto copy
g. Dan lain-lain
3. Barang-barang produksi modern yang terdapat di sekitar lingkungan:
a. Mobil
b. Sepeda motor
c. Telepon
d. Traktor
e. Hand Phone (HP)
f. Dan lain-lain.
g.
BUKTI GLOBALISASI DI MASYARAKAT
Perubahan-perubahan dan perkembangan zaman dan teknologi pengetahuan berpengaruh dalam masyarakat. Ada beberapa bukti yang dapat menguatkan pernyataan di atas, antara lain :
a. Periklanan
Setiap industri berupaya menarik minat masyarakat untuk membeli barang-barang yang dihasilkan Industri-industri yang menghasilkan barang-barang memperkenalkan dan menawarkan hasil produknya kepada masyarakat melalui periklanan di berbagai media cetak dan elektronik.. Perkembangan dunia periklanan dewasa ini cukup baik, sejalan dengan perkembangan teknologi di bidang komunikasi.

b. Pariwisata
Pemerintah mempromosikan daerah-daerah wisata. Pengembangan wisata didukung dengan berbagai fasilitas seperti hotel atau tempat-tempat istirahat lain. Sehingga dengan promosi tersebut keindahan alam Indonesia terkenal sampai ke luar negeri. Banyak objek wisata yang dikunjungi turis dari dalam negeri dan juga turis manca negara
c. Migrasi
Migrasi merupakan salah penyebab terjadinya perubahan pada masyarakat yang di datangi akibat terpengaruh dengan segala perilaku dari penduduk pendatang. Migrasi disebut juga dengan perpindahan. Penduduk yang melakukan migrasi membawa sikap, perilaku, tradisi dan gaya hidup tempat asalnya ke tempat tujuan perpindahannya.
d. Telekomunikasi
Praktisnya penggunaan telepon merupakan media elektronik yang dapat membantu dalam berkomunikasi. Akibatnya manusia sudah jarang untuk saling berkunjung atau bersilaturahmi dengan teman atau sanak saudara karena lewat telepon segala berita dan pesan bisa disampaikan dengan cepat dan praktis.
PERUBAHAN PERILAKU MASYARAKAT AKIBAT ERA GLOBALISASI
Beberapa perubahan perilaku yang terjadi di masyarakat misalnya dalam hal:
1. Makanan
Alat-alat canggih akibat dari kemajuan teknologi mempermudah para pengusaha untuk memproduksi hal-hal baru, misalnya industri-industri makanan menghasilkan jenis-jenis makanan siap saji. Makanan ini tidak perlu di olah atau dimasak lagi. Makanan siap saji sudah untuk dimakan, contohnya makanan yang dikemas dalam kaleng dan roti.
2. Perilaku
Masyarakat kini selalu ingin mendapatkan dan memiliki apa yang mereka lihat dan dengar dari perkembangan-perkembangan di berbagai bidang secara menyeluruh.
3. Gaya Hidup
Penampilan diri masyarakat kini sangat berbeda dengan masyarakat dahulu. Gaya hidup masyarakat berbeda, seperti memakai dasi dengan jasnya, selalu membawa Hand Phone (HP), memakai parfum (minyak wangi) dan suka pergi rekreasi.
4. Pakaian
Pakaian merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia. Berbagai jenis pakaian sudah menjadi kebutuhan dalam kehidupan masyarakat. Dalam keseharian orang sudah terbiasa untuk berganti-ganti pakaian, ada pakaian tidur, pakaian kantor (kerja), pakaian rumah dan pakaian untuk berpergian.
5. Nilai-nilai komunikasi
Dalam berbicara masyarakat kini selalu menggunakan istilah-istilah dari bahasa asing, bicara hanya seperlunya saja. Nilai-nilai komunikasi yang dilakukan masyarakat saat ini banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai globalisasi, misalnya Perjalanan
Setiap manusia selalu melakukan perjalanan, misalnya perjalanan ke kantor, ke pasar, dan perjalanan lain. dengan kendaraan yang modern dan meninggalkan alat transportasi tradisional.

6. Tradisi
Dahulu, orang yang lebih muda tidak boleh menatap muka orang tua saat berbicara karena dianggap tidak sopan, tetapi di masa sekarang anak-anak harus menatap muka orang tua saat berbicara sebagai tanda memperhatikan pembicaraan orang tua.
Tradisi masyarakat dahulu, anak-anak lebih suka bermain-main di halaman terbuka, sekarang anak-anak lebih senang bermain di rumah dengan aneka permainan seperti sega, game watch dan permainan lain.

SIKAP KITA TERHADAP GLOBALISASI
Proses globalisasi memang akan dan selalu memberikan pengaruh kuat bagi kehidupan kita khususnya para generasi muda. Namun kita selalu berusaha untuk mengambil hal-hal baiknya saja dan meninggalkan pengaruh-pengaruh buruknya.
Pandangan orang tua dan generasi muda (anak) dalam globalisasi jauh berbeda. Kaum muda (anak) dalam perkembangan selalu mengikuti perubahan-perubahan sesuai kondisi perkembangan zaman.
Pandangan anak mengenai globalisasi selalu mendapat tantangan dari orang tua yang tidak siap dengan perubahan yang terjadi. Para orang tua selalu mengikuti apa yang mereka lakukan pada zaman mereka masih kanak-kanan. Anak sekarang sudah tidak dapat menerima keadaan seperti zaman orang tuanya masih kanak-kanak. Misalnya para orang tua selalu berjalan kaki menuju suatu tempat ketika mereka masih kanak-kanak, anak-anak saat ini selalu berpergian menggunakan kendaraan seperti bus ataupun naik angkutan kota.
Para orang tua selalu membandingkan zaman mereka masih anak-anak, sedangkan anak tidak mau ketinggalan dan selalu mengikuti perubahan-perubahan yang ada.

Kamis, 13 Agustus 2009

cerpen - TUHAN

Di bawah pohon kelapa aku merenungkan percik-percik ingatan yang berserakan luas mengitari pikiranku. Aku percaya kalau percik ini hanya kecil. Namun ketika terkumpul pastilah menjadi besar, entah bagaimana caranya itu. Apalagi percik itu tentang masa lalu. Ketika peristiwa baru mulai terukir. Ketika pikiran mulai dibutuhkan. Ketika kebutuhan tak kuat hanya sekedar diangankan. Itulah ketika peristiwa ini bermula kemudian menjadi akhir dari sebuah keyakinan.
***
Di pinggir hutan.
Aku duduk di bawah pohon Jati yang besar dan tinggi menjulang bak mencakar dan mengais ujung langit yang mustahil untuk dicapainya. Namun kebesarannya cukup menjadikanku nyaman untuk bersembunyi dari apa pun. Tak akan ada yang tahu dan mengenaliku kecuali aku berteriak lalu menebang pohon itu sehingga orang merasa terusik dengan gaduhnya. Tapi, sekali lagi, ini tuh di pinggir hutan, mana ada yang mendengar kegaduhan itu, jarak dengan kampung terdekat 5 km.
Yang lebih aku takutkan adalah orang dapat mengetahui kegaduhan hati dan keruwetan pikiranku. Masalah ini sudah cukup menjadikanku menggigil untuk pulang. Pandangan orang seperti pedang tajam dan berkilat yang siap memutilasi jasadku, ucapan mereka seperti bongkahan cadas segajah, matilah pastiku jika menimpa raga rapuh ini. Jalan yang terbentang membatasi kebebasan untuk berlalu kemanapun aku suka, karena dengan begitulah tetanggaku siap memergoki kemudian mencaci maki. Itu kalau beruntung, bisa-bisa aku malah dikeroyok kemudian mengkonsumsi bogem mentah, kepalan tangan tukang batu yang kasar mendarat jahat di pipi halusku, atau raungan beserta gigitan penuh amarah Lek Ponirin.
Walau aku tidak bisa menyalahkan, wajar saja, aku pun akan berlaku sama jika aku adalah Lek Ponirin. Warni, putri cantiknya yang telah beranjak dewasa, telah aku sakiti. Sebenarnya, masa kecilku lebih banyak dengan Lek Ponirin. Ayahku telah meninggal ketika aku berumur lima tahun karena terkena serangan jantung mendadak setelah subuh, padahal sebelumnya dia baru saja mengumandangkan suara paraunya yang kian menyayat dalam azan subuh. Sehingga cukup menjadikan tetangga-tetanggaku tidak percaya ketika ada kabar meninggalnya. Kemudian tiga bulan setelah itu ibuku tewas tertabrak truk pengangkut rencek yang ugal-ugalan di perbatasan kampung. Sehingga aku pun sebagai anak tunggal menjadi sebatang kara. Maka Lek Ponirin mengambilku sebagai anak angkatnya menjadi kakak dari Warni, anak gadisnya yang dua tahun lebih muda dariku. Mereka sekeluarga sangat menyayangiku, bahkan seandainya aku belum tahu kalau ibu dan bapakku yang asli telah meninggal, maka aku pasti tidak akan merasa bahwa Lek Ponirin adalah pamanku karena saking sayangnya mereka. Namun ketika besar, malah aku menjadi anak durhaka. Dengan sengaja, Warni aku paksa untuk melayani nafsu syahwatku yang tidak terkontrol. Walau sebenarnya aku merasa bahwa itu bukan sepenuhnya salahku, Warnilah yang patut dipermasalahkan. Kenapa dia cantik dan begitu menarik. Apalagi aku tinggal serumah dengannya sejak kecil, maka benih-benih nafsu itu terus terakumulasi. Bahkan, seringkali tanpa sengaja pakaian yang dikenakan Warni tersingkap sehingga memberiku peluang untuk menikmatinya, tapi anehnya dia tidak marah, malah senyam-senyum sendiri. Hingga hasrat itu akhirnya membuncah pada malam kamis dua minggu yang lalu. Ketika itu Lek Ponirin dan istrinya sedang keluar sehingga hanya aku dan Warni di rumah. Ketika hendak beranjak tidur itulah Warni aku paksa. Esoknya aku sudah melarikan diri. Penduduk kampung pasti memburuku kemana pun aku beringsut.
Akhirnya aku sembunyi di hutan. Meradang harapan yang selama ini aku punyai. Sejak kecil aku telah akrab dengan Warni, bermain bersama, seperti saudara. Namun ketika dia tumbuh besar aku malah mencintainya. Permasalahannya dia malah tidak menganggap seperti itu, dia masih merasa menjadi adikku yang harus dilindungi. Sebenarnya, aku ini lelaki yang perkasa, menghampiri Lek Ponirin untuk melamar Warni menjadi istriku. Tapi mereka menolaknya karena menganggap aku sudah menjadi saudara bagi Warni dan keluarganya tanpa harus menjadi suaminya. Tapi, aku, aku pengin lebih!!!
”Kriii..k, kriii...k, kriii...” bunyi jangkrik yang seperti gaib karena aku tidak tahu dimana mereka berada namun mendengar dengan jelas bunyi mereka. Aku ingin memakannya, aku benar-benar lapar. Sungguh, sejak seminggu ini belum kembali ke kampung. Masihku bertahan dengan berburu di hutan, menangkap ikan di laut, atau membakar tumbuh-tumbuhan yang mungkin bisa aku nikmati. Tapi hal itu tidak bisa bertahan lama. Minggu ini saja aku masih benar-benar kekurangan makanan. Tubuhku kotor dan letih, pikiranku untuk membayangkan bagaimana rupaku sudah tidak mampu lagi. Hidup di hutan tanpa rumah, makanan, dan air bersih sungguh menyiksa.
***
Aku berlari kencang-kencang dengan Warni. Langkahku tidak hanya semakin lebar tapi juga semakin cepat. Sebenarnya aku ingin terbang melayang-layang. Terhampar lautan benar-benar biru. Kapal tua itu sudah merapat di dermaga yang kian terkikis oleh ombak yang ganas.
”Ayo cepat Mas...” seru Warni.
“Iya, hati-hati.” balasku. Aku, ehm, sungguh lucu saat ini. Melarikan wanita yang sehabis ku perkosa. Tanpa paksaan, dia malah yang memohonku untuk melarikan dirinya. Aku sendiri tidak percaya dengan yang terjadi ini. Semula, aku berpikir bahwa gadis pujaanku ini menjadi marah besar dan menyumpahku dengan serapah pedas yang berlaku hingga tujuh turunan. Namun hal itu tidak berlaku saat ini, setidaknya bagi aku dengan bidadariku karena dia ternyata mencintaiku dan ingin hidup bagaimanapun keadaannya denganku, aneh bukan?
Kini kapal ada di hadapan menuju pulau seberang, yang pasti masih antah berantah bagi kami berdua. Tanpa tujuan yang jelas bagaimana kami akan tertampung, dengan bermodalkan nekad yang membuncah, dengan harapan sekedar bertahan hidup di tanah pelarian. Itulah setidaknya, tapi dalam kenyataannya untuk mencapai sana saja sepertinya susah. Bertuahkan nyawa, berbulatkan niatan yang tak sekedar bola, melainkan bongkahan sebesar Jupiter dengan bumbu-bumbu keraguan seperti belasan planetnya. Langkah ini terus saja berrotasi, berlalu, untuk kemudian sekedar mengikuti waktu. Namun pulau seberang itu katanya bertuah. Katanya juga orang bisa menjadi kaya, buktinya, tetanggaku pulang dengan tangan setumpuk uang walau hanya menjadi petani di pulau seberang itu. Label transmigran telah meningkatkan kesejahteraannya.
Kampung Warni sekaligus kampungku menyisakan lara di raga juga hatiku. Namun lara itu sedikit terobati ketika muncul seorang Warni yang tahu dimana aku akan bersembunyi -atau mungkinkah dia memang memiliki insting untuk terus dalam lindunganku tak peduli pernah aku robek keperawanannya-.
Lalu dia berkata, ”Sudahlah, kamu jangan kawatir denganku. Aku bukannya marah kepadamu, tapi aku ternyata menyukainya karena aku memang mencintaimu.”
”Jangan! Kamu jangan mencintaiku. Itu akan menjadikanmu semakin menderita. Karena namaku akan segera terukir pada nisan abu-abu di perkampungan masa depan ujung desa. Buat apa menjadikanmu sebagai bidadari yang merindukan Rahwana durjana?”
”Sebentar, jangan diteruskan..” katanya sambil menempelkan telunjuknya pada bibirku. ”Kita akan pergi dari sini. Kita mengukir kelanjutan kehidupan yang tinggal menjalankan. Aku menyukaimu, sekarang tambah menyukaimu. Kamu menyadari bahwa kamu nista bagiku sudah lebih dari cukup untuk memasrahkan diri ini kepadamu.”
Warni memelukku. Sungguh erat. Nafasku terasa sesak.
”Aku juga mencintaimu, Warni...” bibirku komat-kamit tak tentu. Merancau kacau, bersuara tak bermakna, mungkinkah ini mantra. Tapi air mataku tak henti jua menetes, hidungku sesenggukan, hatiku berbunga kemudian melambung tinggi menggapai nirwana karya anganku sendiri.
***
Kapal ini mengaduk-aduk perutku sehingga aku mabuk, Warni tanpa terkecuali. Apalagi aku merasakan pengapnya gudang pembawa barang dalam kapal menuju Kalimantan!
***
”Bedebah...!!!” itu kataku. Maaf, maaf kepada siapapun yang telah atau sedang mengenalku. Aku sering memaki, apalagi kahidupan ini lebih sering mengolok-olok tekadku. Dia bukan menguntungkan, menyenangkan, jauh dari mengenyangkan. Kupingku menjadi lebar setelah mendengar riuhnya dunia mengembarakan segala kebobrokan. Kalam Illahi tak lagi merdu, wajar saja, selama sewindu aku sudah melupakannya. Tak sekedar bunyinya tapi juga isi dalamnya. Yang aku tahu adalah aku hidup sendiri kebetulan ada Warni yang tanpa sengaja menemukanku hidup. Mungkin kemudian dia iba lalu ingin menolongku.
Kini, rumah, maaf, sebetulnya pagupon ini bukanlah sebuah istana. Warni sering aku maki. Buyung anak kami sering aku kasari. Walau begitu aku merasa bahagia, karena saat ini setidaknya aku masih memiliki gagasan untuk mengubah kebiasaan buruk ini walau aku tidak tahu kapan akan terlaksana. Yang penting ada usaha untuk memikirkannya bukan?
Kembali di bawah pohon kelapa. Aku melepas lelah setelah memotong-motong pohon jati curian bersama kelima temanku kemudian dialirkan melalui sungai. Dengan ditandai identitas khusus kelompok kami maka kami akan mengambilkan ketika di hilir kelak. Kami kemudian keluar dari hutan, kecuali aku. Aku masih di pinggir hutan kemudian memandang hamparan, aku bingung namanya apa. Yang pasti ini adalah bekas hutan. Inilah jarahan pertama kalinya ketika aku menginjakkan kaki di bumi Boneo. Tanpa surat, tanpa saudara, juga pasti tanpa bekal uang ataupun makanan. Aku memberanikan diri untuk bergabung dengan kelompok pencuri kayu kecil-kecilan. Tanpa ada niatan untuk menghancurkan hutan tapi sekedar menyambung hidup, aku babat habis seluruh yang tumbuh untuk dijadikan alat sambung kehidupan. Aku merasa tidak berdosa karena dosa bagiku tidak ada. Buat apa bercita-cita surga karena sejak kecil aku telah merasakan neraka. Maka aku tidak akan takut menghadapi neraka dalam bentuk apapun itu! Atau malah aku tidak percaya dengan neraka-surga?!
tuhan, saat ini memang aku tidak mengakuimu -kata ini diawali dengan huruf kecil, benar-benar tidak percaya tuhan!-. Apalagi di tlatah rantauan ini tidak menimbulkan keajaiban-keajaiban yang bisa menggugah ranah pikiran ketuhanan. Semakin menguatkanku saja bahwa tuhan itu pembohong. Orang-orang yang sering bersedekap kemudian komat-kamit memohon kebahagiaan itulah orang yang telah terracuni. Mereka percaya kekuatan-kekuatan yang sama sekali tidak pernah aku rasakan. Sejak dulu, usaha dari lentikkan jari dan ayunan tanganlah yang menghasilkan. Adapun pengharapan itu angan-angan pemalas yang berharap keajaiban tanpa usaha nyata! Bagaimana bisa bahagia? Begitu pikirku.
”BUUGGGGGG...!!!!”
Aku benar-benar tersentak kaget. Mataku terbelalak, jantungku berdegup kencang, dan jemariku bergetar-getar. Tahu tidak, sebenarnya penyebabnya sederhana, hanya karena ada sebuah kelapa tua yang jatuh dari atas pohon. Biasa bukan? Tapi, jatuhnya hanya berjarak 10 cm dari kepalaku. Sehingga aku merasakan angin kencang yang menyertai jatuhnya. Kalau mengenai pasti tak hanya sekedar harus berganti nama, berganti dunialah pastinya.”Ya Allah...!” kataku tiba-tiba menyertainya kemudian tanpa ku sadari.
Kediaman ini semakin lama. Karena aku kemudian merenung. Sepertinya tanpa sadar aku mengakui bahwa membutuhkan Tuhan –kali ini diawali dengan huruf besar-. Apakah betul ya, Tuhan itu harapan menjanjikan?

CERPEN, THE ANGKRING

Pada sebuah buku binder, aku mulai meggoreskan keluh-kesahku yang sudah aku mentahkan hari ini. Dengan duduk jegang di lincak pada sebuah angkringan. Kaki kananku ada di atas, segelas jahe anget ada di sebelah kiriku, terlihat asap mengepul dari atasnya, benar-benar menggoyahkan seleraku.
“Bos, koq malem ini sepi tho?” tanyaku kepada penjual angkringan yang kira-kira berkepala empat umurnya.
“Iya, mungkin karena tangga tua Mas, jadi jarang yang mau makan keluar. Mungkin jatah mereka dipotong ronde makan malamnya. Sehari cukup dua kali kalau lagi kere.” jawabnya dengan senyum yang lugu tapi tulus. Cukup menyuarakan jeritan rakyat yang benar-benar kecil.
Aku sudah menjadi langganannya penjual sego kucing ini. Selalu datang sehabis maghrib dengan membawa binder dan pastinya muka yang murung namun selalu pulang dengan mimik yang menarik karena tersungging senyum kepuasan tiada tara. Binder kesayangan ini, sudah lecek rupanya, tapi semakin lekat di hati dan tanganku. Aku seakan-seakan memasuki dunia lain yang sangat baru, di sana aku bisa melayang terbang bak imaji yang tanpa palang. Aku berhak marah jika ada yang menyebalkan, aku berhak terharu jika ada yang memilukan, aku berhak tertawa jika ada yang menggelikan, dan yang paling menyenangkan aku berhak tersipu dan merona jika ternyata hatiku tertoreh rasa yang bergelora tentang gelombang bahkan badai cinta. Sedangkan penjual itu, dia hanya tersenyum simpul saat aku ajak bicara atau aku lunasi seluruh tagihanku. Hutang, begitulah kebiasaanku jika memang betul-betul kering kerontang isi dompet ini.
Malam ini aku menuliskan:
Aku berbahagia. Baru saja aku menjemput Srikandhiku. Setelah sekian lama berkeras tulang untuk memanusiakan kondisi ekonomiku yang memelas. Aku melamarnya langsung, menunjukkan bahwa diriku adalah Arjuna yang kokoh membawa panah asmara lalu aku bidikkan tepat dihatinya, juga bapak dan ibunya tentunya. Aku sungguh berniat menikahinya namun tak hanya dia, karena aku juga menikahi keluarganya, merekalah salah satu unsur kebahagian surga dunia yang akan aku bentuk kelak.
Dengan sesetel pakaian pakaian mencolok warna kuning, aku ditemani kakak pertamaku mendatanginya untuk langsung meminang dari (calon) Bapak(-ku). Aku sudah semalam mempersiapkan dengan penenangan berupa istirahat total tanpa hiruk pikuk aktivitas apapun. Setelah shalat Isya’ langsung menuju amben, merebahkan kepala yang tertera mulut yang esok harinya akan aku gunakan dalam peminangan Srikandi. Aku ingin mengistirahatkannya dengan segera supaya besok bisa benar-benar lincah dan menyejukkan, sehingga yang mendengarnya bisa terpikat lalu mengiyakan segala harapan muliaku. Dan hanya itulah alternatif yang aku persiapkan.
Srikandi itu adalah Rina Astuti Ratminto. Dia gadis manis yang wajahnya mahal untuk terjamah. Menyentuh tangannya saja suatu prestasi tertinggi di desaku. Memang dirinya dibentuk oleh bapaknya untuk menjadi harta karun yang berisi emas dan permata yang kilaunya meneduhkan bagi yang memandangnya. Dari situ terlihat, sebenarnya bukan hanya terlihat tapi memang ada dalam dirinya jiwa lembut yang tiada tara kedamaiannya. Namun muncul erangan menyeramkan setiap ada kemungkaran yang muncul dari setiap segi, namun tetap bijak dalam setiap jengkal penempatannya. Hartanya tidaklah begitu meruah, memang yang aku cari adalah orang yang sederhana saja, ya seperti dia. Namun dia adalah salah satu keturunan raja-raja mataram, aku tidak tahu siapa nenek moyangnya, namun hanya mengamininya. Makanya namanya kadang ditambahi gelar “Rr” di depan nama aslinya.
Lalu aku duduk, sudah ada bapaknya yang duduk santai seperti tanpa ada beban hidup secuil pun. Muncul ibunya yang aku akui sangat anggun mengeluarkan kopi bagi bapaknya, dan dua gelas teh manis bagi kami dengan ditemani berbagai jenis cemilan.
“Nak Hamdi, Ini minumnya, langsung dinikmati saja. Masih banyak koq cadangan di belakang. Nanti kalau kurang bisa diambilkan, atau sekalian seember sekalian, tapi buat cuci tangan lho…” kata bapaknya Rina (yang tersayang), dia mencoba bercanda. Mungkin ingin mencairkan suasana yang kaku karena kekeluan ujaranku.
“Ok pak…” jawabku dengan senyum dan sebuah tarikan nafas panjang untuk menenangkan dadaku yang belum mau berhenti berdegup kencang. Sebenarnya aku ditawari kakakku supaya nanti yang berbicara kakakku saja, namun buru-buru aku tolak soalnya aku ingin menunjukkan keberanianku, supaya bapaknya yakin tentang tekadku yang bulat dan komitmenku yang besar.
“Srupu…t.” aku meminum teh manis itu. Rasanya menyegarkan. Aku letakkan di meja kembali, lalu mulai menatap wajah bapaknya dan nafas yang panjang tentunya.
“Begini Bapak Joyo Utomo, langsung saja, kami kesini ada dua maksud. Maksud yang pertama kami ingin bersilaturahmi supaya kita lebih erat persaudaraannya sekaligus disukai oleh Allah.” aku masih berbasa-basi. Aku yakin bapak itu sudah tahu maksud kami ke sini. Aku sudah mengutarakan maksudku mempersunting Rina dan juga kedatanganku malam ini agar dipersiapkan persiapan teknisnya lebih matang terdahulu.
“Maksud yang kedua, saya pribadi ingin mengutarakan keinginan besar, e… sekaligus harapan mulia yang sudah lama saya dambakan.” suasana kini sunyi, aku lirik ke dalam ruangan seberang. Tidak terlihat apapun namun aku yakin di sana Rina pasti sedang menguping.
“Begini, kami, maaf, maksud saya diri ini sendiri ingin meminang putri Bapak yang bernama Rina Astuti Ratminto. Saya benar-benar mengharapkan dia direlakan untuk mengarungi samudra kehidupan bersama saya. Dan Bapak, selaku walinya yang berhak sepenuhnya maka saya sangat mengharapkan kerelaan tersebut.”
“Hmmm…” bapak itu tersenyum, entah mengejek atau memuji. Dia lalu memperbaiki tempat duduknya menjadi lebih tegak.
“Langsung. Saya akan memberikan jawabannya hanya berdasarkan satu hal. Rina… cepat kamu kesini!”
Tak mencapai lima detik Rina keluar. Duduk di samping bapaknya, dia terus merunduk.
“Begini Rina, ini ada lelaki yang ingin menjadikanmu teman sejati dalam hidupnya, Nak Hamdi. Kira-kira kamu mau atau tidak. Saya akan menurut kepadamu. Saya percayakan sepenuhnya kepadamu. Bapak tidak memberikan pertimbangan apapun karena sudah yakin dengan pilihanmu.”
Kami semua memandang Rina. Tapi dia malah meneteskan air mata. Aku jadi salah tingkah. Tiba-tiba dia beranjak, dia masuk, nyelonong begitu saja tanpa kata-kata.
“Tenang saja Bocah Bagus. Kamu tahu kan bagaimana posisinya saat ini. Mungkin karena perasaannya yang sangat penuh sesak dengan keharuan sehingga dia hanya diam. Namun aku bisa menyimpulkan sikap diamnya dengan arti: YA”
***
“Bos, kopi pahit, kenthel kayak bubur pokoknya.” kata seorang lelaki yang baru saja duduk di sebelahku. Aku sudah tidak kaget dengan suara dan macam pesanannya. Siapa lagi kalau bukan Danto, dia adalah teman sepersepuluh hidupku. Namun kali ini aku merasakan keanehan dalam suaranya, dulunya selalu riang dan menyenangkan tetapi kini menjadi parau dan memelas.
“Ada apa Dan, sepertinya kali ini kamu sangat murung?” tanyaku.
“Iya. Aku sangat sedih. Sungguh jahat lelaki itu. Dia belum tahu siapa aku, seorang yang gagah yang pemberani. Yang siap mengorbankan nyawa demi perjuangan cinta. Memang kelihatannya cengeng, tapi hanya inilah harga diriku yang bisa aku persembahkan. Aku tidak ingin diinjak-injak, aku harus merubahnya.” serunya dengan menggebu-gebu. Mungkin aku harus salut dengan semangatnya kali ini, seperti semangat 45 saja.
“Iya, tapi ceritanya yang jelaslah. Aku mana mungkin paham jika kamu kayak gitu.”
“Tenang saja, aku akan menceritakannya koq… Kamu tahu kan? Kalau aku tuh orang yang kalau mencintai setengah mati pokoknya. Nah, sejak tiga bulan yang lalu aku mulai ada rasa dengan seorang wanita. Dia cantik dan anggun sehingga aku sungguh tergila-gila kepadanya. Lalu aku mulai mendekatinya, mungkin aku hanya bisa hanya berkunjung ke rumahnya lalu ngobrol. Aku belum bisa menunjukkan bahwa aku mencintainya, tapi aku yakin kalau dia tahu itu. Aku pun yakin kalau dia itu sebenarnya juga mencintaiku, aku sudah merasakannya dengan jelas-jelas.”
“Wah, kenapa kamu baru cerita sekarang? Kalau tahu begitu kan aku bisa membantu. Namun sekarang belum terlambat kan, jadi masih bisa ada usaha tindak lanjut. Nah, tapi sekarang kenapa kamu koq malah sewot kayak gini?” tanyaku sembari menenggak jahe anget dan menutup binderku, aku merasa diariku hari ini sudah cukup.
“Dia kemarin memberitahuku. Suatu kabar kabar yang akunya menyenangkan, tapi bagiku seperti racun kobra. Dia, dia, akan menikah dengan lelaki lain sebulan lagi. Tanpa rasa berdosa, dia langsung memberitahuku dan dia juga memintaku untuk nanti menyebar undangannya. Sedangkan aku hanya bisa menuruti hal itu, padahal hatiku remuk redam. Hingga menjalar ke ragaku yang kemudian kelu dan layu tanpa tulang yang menyangganya.” terang Danto lagi.
“O… begitu ceritanya, aku baru paham.”
“Hamdi, kamu sahabatku yang sudah aku anggap saudaraku sendiri, bisa membantuku kan?”
“Jelas.”
“Aku ingin membunuh lelaki itu di hari perkawinannya. Tapi caranya bukan dengan menebasnya dengan pedang. Aku hanya akan meracunnya dengan racun tikus dosis tinggi, aku yakin racun itu bisa menjadikannya jasad yang kaku. Aku ingin melihat dia terkapar di hari pernikahannya, keluar busa dari mulutnya dan istrinya akan menjadi di hari itu juga.” ujar Danto mantap. Aku sontak kaget dengan keinginannya, sungguh tidak manusiawi.
“Danto, sadarlah To! Kamu itu akan melakukan kejahatan. Siapapun tidak akan memaafkan tindakan bejatmu. Terus apa mungkin gadis pujaanmu itu beralih kepadamu. Dia malah akan membencimu, dan kamu malah semakin hancur.” seruku dengan menggebu.
Danto diam. Kemudian menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. Dia menggosok-gosok, seperti ingin mengacak-acak susunan mukanya. Tiba-tiba dia sesenggukan, dia menangis, lalu semakin keras. Dia mencurahkan seluruh amarah, atau emosinya ke dalam tangisnya. Semakin keras saja, dia kini seperti orang yang mengerang. Sepertinya kejadian ini sangat memukulnya. Aku jadi semakin iba dengan sahabatku yang satu ini.
“Hamdi.” dia mulai angkat bicara. “Aku ingin berterus terang ke kamu. Aku, aku, tadi membohongimu. Tadi ku bilang aku belum berani ucapkan cinta ke dia. Begitu kan? tapi yang benar aku sudah melakukannya. Dan diapun mencintaiku. Aku jadi sangat gembira. Hingga kini semakin parah, aku melakukan kesalahan besar…” danto berucap dengan terbata-bata dan kadang diselingi sesenggukan.
“Kesalahan apa? Nanti aku akan membantumu menyelesaikannya, jadi tenang saja. Kamu cerita saja, aku ada untukmu koq.”
“Hamdi, aku… Aku telah menghamilinya.”
“Hah, kau tidak salah ni?” tanyaku dengan setengah berteriak.
“Tidak, ini benar. Kami saling cinta, dengan sukarela kami melakukannya.”
“Tapi kenapa dia mau menikah dengan orang lain?”
“Nah itu masalahnya. Aku belum bisa menikah dengannya. Kamu tau kan? Aku tuh masih kuliah, baru semester lima. Bisa apa aku ini.”
“Jadi dia menerima lelaki yang mapan?”
“Iya. Tapi hatiku sakit. Aku sakit karena dikhianati dan karena cemburuku yang amat sangat.”
“Sebentar-sebentar, emang siapa sebenarnya wanita yang kamu maksud itu?”
“Kamu pasti kenal dengan dia. Rina Astuti Ratminto.”
“Glek.” aku hanya bisa menelan air liurku.

cerpen-PENDIDIKAN MORAL PENDIDIK (PMP)

“Tidak bisa bapak kepala sekolah, itu tidak benar!” kata Pak Romi dengan wajah serius dan mata yang setengah keluar. ”Murid itu harus dikeluarkan, kesalahannya sangat besar. Dilaknat Tuhan nanti kita kalau hanya membiarkannya.”
”Ah kau hanya hiperbolis. Mana mungkin seperti itu. Sekarang zamannya realis. Yang kita bahas tentang kelanjutan studi si Manap. Itu yang harus kita pikirkan, butuh kesabaran dan kejernihan hati, buang jauh-jauh sana perasaan murkamu. Ini tentang masa depan anak bangsa, juga nama baik sekolah kita. Itu yang harus kita pikirkan sekarang, bukannya malah memaksa dengan murka.” balas Pak Basuki dengan nada agak berat, aneh bukan Pak Basuki itu, minta berpikir dengan jernih tapi tetap saja dengan nada marah?!
”Eh, Kau, aku tahu kau pamannya, makanya kau bela cecunguk itu. Sudah jelas-jelas dia bersalah, masih butuh pikiran panjang. Sudahlah, permasalahan ini sudah jelas duduk permasalahannya. Coba, kamu tanya saja kepada pot di atas meja kepala sekolah itu, dia pun akan mengiyakan apa yang aku katakan. Padahal ya, dia itu makhluk mati, bunga imitasi. Apa kamu lebih dungu dari pada abrakan itu. Pikir! Sekali lagi otakmu tolong dipasang. Jangan-jangan kamu sudah menjadi banci, mulai ikut-ikutan peka perasaannya. Mulai sok-sokan berbicara dengan hati. Mana kekejamanmu selama ini ha? Bencong!” kali ini Pak Romi tidak karuan ekspresinya. Kadang mencibir, senyum sinis, menganga, bahkan terkekeh-kekeh tidak jelas. Bisa diimajinasikan, seorang artis antagonis sinetron dengan tema perebutan pria setengah baya oleh dua orang wanita yang mengincar perusahaan bonafitnya.
”Stop! Kamu benar-benar keterlaluan. Apa yang kamu katakan cukup menggambarkan bagaimana kondisimu, terimakasih, wahai penjilat. Aku juga tidak percaya dengan lamisnya congormu yang lincah itu. Aku tahu, sudah ada lima wanita yang kamu permainkan, lebih tepatnya kamu bohongi. Mulutmulah yang pandai-pandai mengecoh dan membius lawan bicara. Tapi, hal itu tidak berarti bagiku. Aku seudah kebal. Kamu ingat kebohonganmu kemarin hah? Yang katanya ada rapat guru mata pelajaran, tapi malah kau pergi ke kota, pulang larut dengan pacar ketigamu. Sedangkan sudah dua jam menunggu seorang wanita lagi, padahal dia hanya akan menjadi pacar keenammu. Heh, apa kau masih mau mengelak? Aku yakin kamu punya tujuan khusus jika kayak gini. Tidak mungkin kamu membawa bendera penegakkan moral. Aku siap mencium jempol baumu kalau ternyata kamu tulus.” berondong Pak Basuki dengan entengnya. Padahal dihadapan mereka berdua ada sekumpulan orang yang sedang rapat wali kelas beserta kepala sekolah.
"Sekali lagi kamu membawa-bawa tema diluar ini, apalagi tentang pacarku, ku cincang kau!"
"Ayo, kalau berani!"
***
Di tempat lain, lain juga kalanya, yaitu sebuah pagi yang sejuk. Jalanan belumlah sepi dari pengguna motor yang menggeber-geber suara knalpotnya dengan tidak karuan, padahal sudah tidak enak sekali didengar, keropos alias karatan kemudian bolong. Parahnya tanpa rasa dosa masih menikmati borosnya dan produsen polusi paling menyebalkan dengan nama motor 2 tak. Asap putih keluar menggebu-gebu, suara tanpa bass yang meraung-raung, ketidakmampuan pengendara untuk menyesuaikan gigi dengan medan jalan semakin memekakkan telinga yang disampingnya. Bagi pengendaranya mungkin telinganya telah tersumpal kecuekan akut yang butuh operasi bedah syaraf dan diopname selama 1 tahun! -seperti biasa: kita nyaman dengan keburukan hingga orang lain tidak tahan, baru kita mengetahui, walau belum sadar sepenuhnya-
Manap, bergeleng-geleng kepalanya mengikuti irama jalannya bis kota yang tidak bisa kalem walau jalannya jelas-jelas rata. pandangan matanya kosong, menggambarkan gairah hidup yang melenyap, menghilang, entahlah mungkin dosanya sudah tidak tertanggungkan. hanya kerlip matanya yang semakin jarang, jemarinya bergerak tidak karuan. Suasana dalam bus semakin mendukung kebisuannya. Semuanya seakan dilakban, bahkan dijahit mulutnya beserta matanya untuk melihat bahwa Manap kini sedang gundah. Tak ada yang rela melewatkan detiknya untuk sekedar melirik, apalagi menanyakan gerangan apa yang menggulanakan seorang penceria seperti Manap.
Setelah sampai di sekolah pun dia berjalan gontai. pandangannya lurus, bukan ke depan tapi ke bawah. Mulutnya komat-kamit tidak karuan. Berlalu sudah gerbang masuk yang berdiri penjaga yang terlewatkan tanpa meninggalkan senyuman. Kemudian masuk ke kelas. Semuanya juga belum ada yang berinisiatif memecahkan kekeluan lidah si Manap. Pelajaran pun dimulai, Bu Guru Siti Muslichah, S. Pd. menerangkan tentang akhlak Islami yang menjunjung tinggi etika. Mengembangkan sayap sosial untuk memberdayakan anak yatim dan memberi makan orang miskin walau mereka nasrani durjana. Namun hingga sesi diskusi Manap tetap sunyi. Bu Guru akhlak tidak menunjukkan sikap kepedulian terhadap anak bangsa yang duduk di bangku terdepan penuh kenanaran mata yang teramat jelas!
"Teetttt..." bel telah berbunyi.
Manap hanya duduk di kursi. Matanya terus memandang meja coklat keruh penuh catatan-catatan kejahatan mungil -untuk mencontek- kemudian disebarluaskan kepada khalayak kelas atas nama kesetiakawanan abadi dan aplikasi sosialisme terpuji. Walau kini sama sekali tidak terbukti, lima menit, sepuluh menit, hingga bel masuk berbunyi kembali Manap masih saja terpekur tanpa makna dan hasil yang jelas tanpa kawan! Mana kesetiakawanan yang dijunjung dulu? Hah? Mau mengelak kawan?
"Pak Guru!" seru Manap tiba-tiba setelah Pak Sarbini menerangkan pelajaran Fisika tentang kelistrikan, membuka sesi tanya jawab. "Saya izin mau ke belakang sebentar."
***
"Brok...!!!???" Kepala Sekolah, Dr. Arifin menggebrak meja kerjanya di SMA Al Huda yang bercirikan Islam."Rapat kita pending 15 menit terlebih dahulu. Pak Basuki dan Pak Romi harap wudhu dulu!"
"Huu..." seru Pak Basuki.
Semuanya bubar meninggalkan ruangan rapat yang panas walau AC sudah mengerat-erat dengan paksa. Mungkin ketika ada jarum yang jatuh akan terdengar. Sruputan minuman teh kental pahit kepala sekolah menjadi sangat keras. Lima belas menit jelas-jelas bagi kedua kubu saat yang tepat untuk melobi seluruh peserta. Entah itu di kamar mandi, pojokan ruangan, beranda kelas, semuanya saling mempengaruhi.
Pak Romi yang lulusan IAIN jurusan Pendidikan Agama Islam sehingga di sekolah ini mengajar Akhlak Islami, menjadikan dia sangat responsif terhadap perilaku-perilaku para siswa. Apalagi dia juga menjadi salah satu tim kesiswaan sehingga sangat merasa bertanggung jawab terhadap penyimpangan-penyimpangan pelajar SMA swasta di kota besar ini. Baik itu yang paling kecil sampai yang besar serta seluruh siswa, sangat protektif-hegemonis. Cocok sebagai pemimpin negara besar seperti negara ini yang sering over acting dalam mengatur –lebih tepatnya mengobok-obok dengan dalih pembangunan segala sisi-. Makanya itu, dia adalah guru pasaran yang paling tidak diminati para siswa dalam kelas, mana mungkin juga dicita-citakan profilnya oleh para calon guru sekalipun dan dimanapun. Namun tetap bangga, terus menari dan tertawa menuju egoisitas absolut.
Beserta sepuluh pendukung, para guru visioner, Pak Romi sebagaikeynote speakernya, ”Tahukah engkau Pak Basuki itu juga penjahat kelamin. Seperti Manap yang maniak seks itu. Apa saja yang dikeluarkannya itu hanya untuk birahi mereka. Jangan sampai kalian ini terbawa-bawa mereka. Tahukah dikau-dikau sang Umar Bakri modern, kebejatan seperti itu sangat menular. Seperti wabah penyakit yang akut. Sekali sentuh akan terinfeksi. Lebih jahat daripada tetanus. Kalau sudah terkena, cepat-cepat yang lain lapor ke aku, tindakan selanjutnya aku beri istilah amputasi tendensi. Paham-paham yang sesat itu harus dipotong untuk diganti dengan tumbuhan kebenaran haqiqi seorang Romi. Begitu, paham? Cepat sebarkan berita ini seluas-luasnya!”
Setelah berkata seperti itu dengan membisu audiens bubar kemudian menyebar mencari-cari kelompok independen alias tidak memihak kepada siapapun. Menyebarkan pendapat tentang ini. Berusaha bagaimana caranya agar peminat paham ini semakin banyak, siapa tahu ada voting, kan nanti bisa menang sekaligus menangkis kecongkakan Pak Basuki –versi Pak Romi tentunya-. Ada yang berpropaganda sambil makan makanan ringan di ruang guru. Bahkan antar ruangan kamar mandi terjadi diskusi. Tak kurang para Ibu Guru sambil memperbaiki make upnya ngerumpi, apalagi kalau bukan bertema: propanda anti Basuki.
Di lain pihak, Pak Basuki selaku Wakil Kepala Urusan Kurikuluim sebenarnya jarang-jarang berpendapat sampai ngotot seperti ini. Padahal rapat sebenarnya sudah sejak 10.00 hingga menjelang ashar ini belum kelar juga. Biasanya setelah Duhur sudah selesai, namun demi si Manap lama dan alot rapat semakin nikmat. Ditemani Pak Andi, seorang Wakil Kepala Urusan Kehidupan Islami, orang terdekat yang paling bisa mempengaruhi kebijakan kepala sekolah, mereka membicarakan taktik apa yang mungkin bisa mereka lakukan. Dengan potensi kedekatan dengan penentu kebijakan, walau jumlah pendukung sedikit tentunya sangat riskan. Untuk itu Kepala Sekolah jangan sampai tidak mendukung Pak Basuki yang menginginkan si Manap tetap berada di sekolah menjadi anak didik yang semoga menjadi manusia yang seutuh-utuhnya.
Kemudian rekonsiliasi dengan kepala sekolah dimulai. Pak Basuki dan Pak Andi menghadap dengan sopan, kepala tertunduk, dan senyam-senyum tidak jelas. ”Bapak kepala sekolah sepertinya kelelahan ya?” Pak Basuki memulai pembicaraan dengan basa basi.
”Ah, aku masih fit koq. Cuman wajahku aja yang kusut.”
”Pak, kira-kira keputusan mana yang akan Bapak ambil? Semuanya berat kan Pak?” kata Pak Andi dengan mimik serius.
”Jelas!” Bapak Kepala Sekolah dengan lesu. ”Tapi aku ingin si Manap tetap di sekolah. Seperti kalian juga kan?”
”Tentu Pak. Bapak tau kan, orang tuanya adalah donatur utama sekaligus tetap sekolah ini kan? Sejak masih prematur hingga berkembang jauh seperti sekarang ini tidak pernah lepas dari perannya. Sudah selayaknya kita mengucapkan terima kasih, sebagai balas jasanya anaknya harus kita pertahankan menjadi siswa di sekolah ini. Kalau si Manap kita keluarkan, bisa-bisa dia mencabut kucuran dananya selama ini. Apa jadinya SMA Al Huda tanpa Bapak Lukito? Pahlawan kita.” sambung Pak Basuki.
”Bahkan tau tidak Pak Kepala Sekolah, Pak Lukito itu mau jadi calon legislatif lho...” tambah Pak Andi.
Pak Kepala Sekolah pun menjawab, ”Emang hubungannya apa?”
”Gak ada sih, tapi kita cuman harus mendukungnya. Itu saja.”
***
Intermezo tentang Manap:
Manap kembali ke kelas. Di sana suasana belumlah bersahabat. Manusia-manusia masih berkutat pada sebuah penantian agung. Aktivitas mulia yang sangat menentukan masa depan para calon pemimpin bangsa. Penerus sekaligus pengembang kehidupan menuju peradaban agung yang megah. Para kader yang terus-menerus terjejali dengan propaganda anti komunisme yang konon menolak Tuhan, walau mereka sebenarnya sadar dengan sesadar-sadarnya tentang Tuhan. Para teknisi yang diajari cara-cara mempermudah pekerjaan. Menumbuhsuburkan jiwa manusia serakah, bermodal sedikit-dikitnya, berusaha seenak-enaknya namun menginginkan semaian melimpah ruah bak wedus gembel Gunung Merapi. Apa bisa ya? Semuanya dilakukan dengan sistem rapi yang telah didewakan melebehi pemikir-pemikir yang merancangnya. Tak ada yang menyalahkan sistem dengan alasan apresiasi karya pendahulu –padahal hanya malas berpikir bagaimana sebaiknya-. Walau begitu tetap tanpa hentinya memperbaharui sub sistem yang produktif memenuhi kantong para cukong pemerintah. Buku-buku pelajaran, proyek perbaikan atap, keramikisasi, dan tethek bengeknya.
Penantian itu adalah sekedar sebuah jawaban ulangan Bahasa Indonesia Bab Sejarah Sastra Indonesia. Semuanya bingung. Guru Killer, soal tidak nggennah, apalagi dengan jawabannya nanti.
Bagi Manap, bedebah dengan itu semua! Dia hanya ingin memandang, karena pandangannya telah hilang. Itu saja.
***
Para guru kembali berkumpul. Semuaya hening. Tak ada keramaian.
”Baik, rapat kita mulai kembali.” kata Kepala Sekolah lalu memandang seluruh hadirin yang sangat antusias. Entah karena jatah makan siangnya yang lezat atau perhatian penuh bagi pendidikan. ”Setelah saya pikir-pikir, dengan tempo yang sesingkat-singkatnya tentunya, demi peralihan pendidikan bemutu kita, atas nama manajemen pelayanan rapi institusi kita, ...” bapak Kepala Sekolah terhenti sejenak. ”Ehm... ehm... ehm... sruput!” segelontor teh manis memasuki tenggorokan kering Kepala Sekolah. ”Saya akan mengeluarkan...”
”Hore...” teriak Romi cs. Beberapa diantaranya senyam-senyum tidak jelas, tertawa riuh renyah, saling bersalaman.
”Supriyanto, kamu tidak bisa seenaknya!” kata Pak Basuki yang membentak Kepala Sekolah dengan namanya yang asli. Kali ini mukanya memerah. Tidak hanya itu. Dia maju. Tapi tidak jadi karena ditarik Pak Andi dengan sekuat tenaga.
”Tenang semuanya!” bentak Kepala Sekolah. ”Hargai saya sebagai Kepala Sekolah ini. Dengarkan saya sampai selesai. Saya, saya hanya akan mengeluarkan Romi Pattirajawane dan Muhammad Basuki. Itu saja”
Semuanya melongo.
”Ingat, aku tahu Pak Romi, kamu ini adalah politikus kecamatan ini. Kamu ingin menjegal Manap dan keluarganya dengan skandal seksnya Manap supaya Pak Lukito, bapaknya Manap tidak terpilih menjadi anggota legislatif. Dan kau Basuki, kau atas nama kelangsungan sekolah telah mengorbankan kemuliaan pendidikan, seperti Romi itu. Kamu selalu mendapat 40 % dari kucuran dananya Pak Lukito setiap bulan. Dia memang donatur, tapi selalu kamu ambil sebagiannya sebelum masuk sekolah ini. Dan kalau Manap keluar sangat mungkin juga danamu akan terhenti. Tidak masalah bagiku permasalahan kalian berdua. Tapi, pendidikan adalah kemuliaan. Itu camkan!”
Semuanya tidak hanya melompong, tapi menganga bonus melotot.

Cerpen Peradilan Rakyat

Cerpen Peradilan Rakyat

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."
"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."
Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.
"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.
Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.
Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."
Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.
"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."
"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.
"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"
"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.
"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."
"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."
"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."
Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"
Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"
"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"
"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"
Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."
"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.
Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."
Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."
Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.
"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***

Di Dusun Lembah Krakatau

Banjo berjalan gontai pelan-pelan di belakang emaknya. Burung-burung gagak hitam terbang rendah, berkoak-koak memekak. Di atas, langit yang damai tak menjanjikan sama sekali rasa aman.

Lewat baris-baris pohon jati di sepanjang jalan, si emak dan anak laki-lakinya itu dapat melihat lembah Krakatau yang melandai berombak-ombak. Tak mereka jumpai lagi sosok-sosok manusia yang berarak tak henti-henti mendaki seperti semut, tak peduli disambut oleh lingkaran awan tebal dan gumpalan langit tak berawan. Sebuah kabar burung tentang anak siluman telah memutus urat keberanian mereka.
"Banjo!"
Emaknya tiba-tiba berhenti.
Mendengar namanya dipanggil, anak itu terkejut. Bukan karena takut, melainkan karena firasat yang semakin dekat. Kenyataan yang akan datang tentang firasat itu bisa terasa sangat sakit, bahkan bisa juga mematikan.
"Kau lelah, Jo? Sepertinya Emak terlalu memaksamu berjalan hingga sejauh ini. Maafkan Emak, Jo."
Sesudah mengusap liur yang meleleh di sudut bibirnya, si emak menggandeng tangan Banjo, dan ucapnya lagi, "Ayo kita pergi ke pohon besar di sana itu. Kita buka bekal makanan kita. Kau lapar kan?"
Banjo tidak menjawab dengan kata-kata. Ia mengangguk saja, lalu mengekor patuh di belakang emaknya.
Tidak jauh dari situ tampak pohon besar yang rimbun daunnya. Di situ emak membuka buntalan kain sarung, sementara anak laki-lakinya selonjor, melenturkan otot-otot kakinya, dengan bersandar pada batang pohon besar itu.
"Banjo, duduklah dekat Emak sini."
Banjo merangkak menuju emaknya.
Emak mengeluarkan dua lembar daun jati tua. Ia melipat satu lembar daun jati itu sedemikian rupa di atas telapak tangannya, hingga membentuk semacam mangkok makan. Diisinya mangkok daun jati itu dengan nasi, gorengan ikan asin, dan sayuran rebus. "Kau ingin Emak menyuapimu?"
Banjo mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda setuju.
Emak menyeringai senang, memperlihatkan sederetan gigi yang warna putihnya tak sempurna. Ia senang melihat anak laki-lakinya makan dengan lahap. Ia seketika lupa bagaimana anak-anak penduduk dusun sini melempari Banjo dengan tomat busuk dan batu kerikil. Sementara orang-orang dewasa melihat kejadian itu tanpa bereaksi apa pun selain tertawa. Apa yang lucu dari melihat seorang bocah laki-laki yang pasrah begitu saja ditawur bocah-bocah sebayanya, dilempari batu hingga mengakibatkan luka memar dan berdarah di sekujur tubuhnya? Apa semua lelucon tak pernah berperasaan?
Barangkali penduduk dusun sini meyakininya demikian. Mereka terpingkal tanpa rasa kasihan. Beberapa di antara mereka mencorongkan tangan di mulut dan meneriaki anak lelaki malangnya dengan kata-kata kasar. Mereka mengerumuninya dan menggiring ke luar dusun. Emak sudah hapal dengan perlakuan penduduk dusun ini; tanpa perasaan mendendam ia berbisik pada diri sendiri, "Barangkali mereka capek kerja ladang seharian, lalu mereka mencoba mencari hiburan."
Emak dengan sabar dan telaten membesarkan hati putra semata wayangnya itu. Tak ada yang benar-benar membuat hatinya meluap kegembiraannya, selain ketika bisa melihat wajah Banjo tampak tersenyum sewaktu tidur. Dalam pikirannya, senyum Banjo sewaktu tidur itu berarti segala-galanya. Leluhurnya pernah bilang, jika di pertengahan tidurnya seorang anak mengigau atau menjerit-jerit, itu artinya ada bayangan hitam yang menempel pada si anak. Dan emak tak mau bayangan hitam itu satu kali saja menempeli putra tunggalnya.
Banjo sudah lelap di pangkuan emaknya. Sementara emak mulai tak kuasa menghardik rasa kantuknya.
Dusun yang bermandikan cahaya kekuningan matahari menghilang di kejauhan, berangsur-angsur digelapkan oleh kabut petang musim penghujan. Tapi musim penghujan bukan halangan besar bagi penduduk dusun untuk mencari nafkah. Karena mereka percaya Hyang Air dan Hyang Angin telah mereka buat kenyang dan senang hati dengan upacara, tumbal, dan sesaji. Kepercayaan itu juga yang membuat emak dan Banjo terusir dari dusun itu.
Semuanya seperti berputar kembali. Kaki langit menggenang dalam kubangan kuning kemerahan. Jangkrik-jangkrik mulai menghela komposisi kerikannya. Satu-dua burung hantu menyembulkan kepalanya dari lubang sarangnya, membawa badannya yang buntal ke tengger pohon yang paling tinggi --hampir menyundul dagu bulan. Dan hewan-hewan malam lainnya pun serentak bergerilya ke sebalik lubang-lubang amat gelap.
Emak pulang larut malam dari rumah Wak Nardi dengan berbekal obor bambu di genggaman tangannya. Malam itu tak seperti malam-malam lalu. Amat gelap, amat dingin, amat mencekam. Kesiur angin membuat nyala obornya bergetar bergoyang-goyang selalu. Kedua belah matanya beberapa kali merem-melek, menyiasati lesatan uap kabut yang menggores jarak pandangannya.
Tapi, tiba-tiba kabut itu dikejapkan cahaya kilat --dan sungguh mengejutkan. Begitu ganjil kedatangan kilat itu. Kini yang dilihatnya bukan lagi kepulan kabut yang mengendap-endap lambat menyergap, tapi semacam gumpalan asap tebal yang mirip kepala raksasa yang bertonjol-tonjol menyeramkan.
Sekejap, kilat menyabet terang membelah langit. Di ujung jalan berbatu di sebelah barat, dari tengah-tengah sepasang pohon asem yang tegak kekar di kanan-kiri badan jalan muncullah bayangan sosok tubuh yang setindak demi setindak menuju ke arahnya, tapi hilang-hilang nyata dalam sabetan-sabetan cahaya kilat. Betapapun emak berusaha dengan menajamkan sorot mata kuyunya yang bernaung dalam kecekungan lubang matanya, sia-sia saja ia mengenali wajah tubuh itu. Tapi jelas, dari gerak-gerik sosok tubuh asing yang sedang menuju ke arahnya itu adalah sosok perempuan.
Hatinya bergetar, berdegup-degup tak karuan. Terus terang emak sedang ketakutan. Dinantikannya sampai sosok itu melontarkan setidaknya satu patah kata lebih dulu. Sungguh pun diketahuinya kecil kemungkinannya sosok itu adalah orang dusun yang dikenalnya, tapi entah mengapa ia masih mau berdiri memaku menunggu sosok tanpa wajah itu menegurnya.
Hingga….akhirnya sosok berwajah lembut nan cerlang itu tersenyum padanya, bersamaan muncul lingkaran cahaya terang memusar lalu memancar --begitu seterusnya-- di belakangnya. Cantik, sungguh cantik. Dua belah mata yang berbinar tegas, meninggalkan sorot yang menggores tajam setiap memandang. Bibirnya menggumpal padat berisi dan basah mengkilap. Kulit wajahnya halus sempurna dan seputih kapas. Wajah itu sungguh bercahaya menggetarkan dada dan menyejukkan hatinya, sampai-sampai mulut emak menganga. Beberapa kali ia pun menghela napas, menggeleng-gelengkan kepalanya, sementara balas tersenyum balik. Ia berubah seperti anak kecil yang tengah mendapati sebatang kembang gula yang tiba-tiba tergenggam di kedua tangannya.
Bau harum menusuk hidung emak. Bau harum yang mengepul dari kibasan jubah panjang sosok makhluk cantik itu. Ya, makhluk cantik, hanya sebutan itu yang terlintas di hatinya. Ia yakin sosok di hadapannya itu bukan satu dari bangsa manusia seperti dirinya. Malaikatkah? Atau bangsa jin? Ia belum pernah berjumpa dua bangsa ciptaan Hyang itu sepanjang sisa-sisa rambut ubannya yang memutih kapas. Jadi ia tak bisa mengatakan dengan pasti, apalagi teka-teki, dari bangsa yang mana sosok makhluk di hadapannya itu. Ia hanya bisa mengatakan makhluk itu cantik, maka itu makhluk cantik.
Lama. Malam tambah hening, tambah senyap, tambah penuh tanya. Tak kelihatan lagi kejapan-kejapan kilat yang berseliweran membelah langit di atas. Sekonyong-konyong meluncur dari sela bibir makhluk cantik itu, tapi bibir padat berisi itu tiada bergerak, terdengar begitu saja, kata-katanya sangat jelas dan berbunyi, "Susui jabang bayiku hingga datang malam purnama kedua puluh tujuh…."
Serasa emak dikepung anak buah malaikat maut, linglung tak tahu apa yang mesti diperbuat. Jantungnya bunyi berdegup-degup, kedua belah matanya terus berkedip-kedip. Jari-jarinya gemetar ketika menepuk-nepuk kulit pipinya yang kisut-kendur. Suara bicara sosok itu yang menggema per kata-kata, di telinganya persis wangsit Hyang, memekakkannya hingga kemerotak persendian di sekujur tubuhnya kalah beradu dengan kemerosak gesekan dedaun yang diterjang angin amat kencang, amat mencekam.
Belum genap emak menghilangkan kekalutannya, tiba-tiba sosok mahacantik itu melesat dekat ke arahnya. Hingga ia harus memejamkan matanya rapat-rapat, dan hanya dua cuping telinganya yang waspada. "Akan kuambil kembali ia bilamana purnama telah sempurna….!" Hanya beberapa detik setelah gaungnya suara kakupak dari arah sawah penduduk di kanan-kirinya menghampiri gendang telinganya. Hanya beberapa detik setelah angin kencang tiba-tiba tenang, jalanan berbatu itu kembali gelap gulita. Nyala obor di tangan emak gemetar lamban.
Setelah peristiwa itu, esok paginya emak mengalami kesakitan dari ubun-ubun hingga kuku-kuku jemari kakinya. Kepalanya lebih pening dari sakit pusing biasa. Tubuhnya gemetar menggigil lebih hebat dari akibat kedinginan biasanya. Perutnya lebih tertusuk-tusuk ketimbang rasa lapar biasa. Tulang-tulangnya lebih rapuh daripada pengemis tua renta yang terlantar.
Orang-orang dusun dan sekitarnya memutuskan agar emak dan suaminya dipencilkan ke hutan di perbatasan dusun. Mereka percaya bahwa suami-istri "aneh" itu telah dikutuk. Makhluk cantik yang konon mencegat emak pada malam ganjil itu adalah jin yang menjelma dalam wujud malaikat samarannya. Bahkan kepala sesepuh dusun angkat tangan mengamini mereka.

Perut emak seperti perempuan hamil. Ia pun merasakan kesakitan-kesakitan yang lazim dialami oleh kebanyakan perempuan hamil. Emak memang hamil. Sementara minggu bergulir menjadi bulan. Dan ketika bulan menginjak putarannya yang kesembilan, emak melahirkan seorang bayi laki-laki. Tanpa bantuan dukun, tabib, atau orang pintar mana pun. Bayi laki-laki itu diberinya nama Banjo.
Banjo tumbuh sehat, itu pasti. Emak dan suaminya bahagia. Pun orang-orang dusun terimbas bunga rasa itu, meski dengan air muka yang berbeda. Melihat Banjo sama saja berdiri menonton satu atraksi "makhluk aneh" di sirkus pasar malam. Mereka membiarkan Banjo bertingkah. Bocah itu tak sadar, kegirangan penduduk dusun jauh lebih menyakitkan daripada tersengat ribuan lebah pekerja. Setiap kali orang-orang dusun terbahak, setiap kali itu pula kerongkongan emak semakin tercekat.
Hingga usia Banjo dua tahun lebih, hingga hari yang dijanjikan itu tiba, emak mendapat mimpi aneh. Dalam mimpi itu, ia melihat Banjo menjadi santapan makhluk serba nyala merah dan meruapkan hawa sangat panas. Tak ada yang sempat diingatnya, kecuali dengung suara menggelegar dari arah makhluk ganjil itu. "Aku minta anakku dari rahimmu….!" Emak tersimpuh lemas di samping bujur kaku suaminya yang meradang seperti orang sekarat.
Sepeninggal suaminya, masih ia ingat ia tak kuasa menolong Banjo yang meronta-ronta waktu itu. Matanya merah. Kedua tangannya mencengkeram jeruji-jeruji kayu, membuat kurungan kayu itu terguncang cukup keras. Saat itulah seorang anak kecil ingusan berlari menghambur ke halaman rumahnya ketika mendengar genderang dipalu di jalanan dusun. Peristiwa yang jarang terjadi. Anak kecil itu berlari membawa badannya yang tambur tanpa baju. Matanya bersinar-sinar memandangi arak-arakan para lelaki dusun sambil memalu bekhudah2 yang bertabuh hingar. Biji mata anak kecil itu mengikuti arakan. Serombongan laki-laki tanpa baju yang wajah dan tubuhnya dicoreng-corengi arang hitam mengarak seorang anak manusia dalam kurungan kayu yang ditandu. Mereka menuju ke puncak bukit di mana bertahta sebuah pohon kekar, mahabesar, dan menjulang tinggi. Di pelataran bawah pohon itulah Banjo dibaringkan di atas meja batu berlumut.
Banjo harus menjalani prosesi kurban kepada Hyang. Tubuh bocah laki-laki itu ditelanjangi. Kedua tangan dan kakinya diikat di masing-masing sisi meja batu. Setelah itu, seorang tetua ritual memercikkan air yang diyakini bertuah menghilangkan kekuatan jahat yang menghuni jasad seseorang, sambil merapal mantra.
Ingatan emak menjadi gelap. Tapi tak segelap malam ini. Tapak tangan kasar emak tak lepas mengusap kepala Banjo. Hampir empat belas malam berlalu, terhitung sejak malam ia "mencuri" tubuh kapar Banjo, mereka berpindah-pindah tempat perlindungan. Keduanya sebenarnya tidak ingin sembunyi dari kejaran orang-orang dusun. Emak sungguh berhasrat untuk meyakinkan mereka bahwa Banjo benar-benar anak yang lahir dari mulut rahimnya, bukan anak tumbal Hyang yang dipinjamkan di rahimnya. Tapi mereka tidak pernah bisa menerima keyakinannya itu. Karenanya ia dan Banjo harus berlindung dari piciknya kepercayaan mereka pada sesuatu yang menggariskan durhaka tidaknya manusia di hadirat Hyang.

Hampir sepertiga malam. Makhluk-makhluk yang dinapasi misteriusnya malam, makin menggeliat dalam kehitaman rimba bumi. Tak peduli sebuah tugas mahamulia telah memampatkan kerongkongan orang-orang dusun yang, kebanyakan para lelakinya, bermalam-malam membidik dua manusia paling dikutuk: Banjo dan emaknya. Meski membuat ladang-ladang garapan mereka terbengkalai, itu tak apa! Yang penting bagi mereka, dusun mereka bersih dari manusia-manusia durhaka, yang mengingkari wasiat Hyang.
Waktu bergerak lambat bagai geliatan pesolek di mata ratusan laki-laki dusun yang tersebar di tiap-tiap sudut batas dusun, juga di tempat-tempat gelap terpencil. Dan, dua buronan mereka telah menjadi begitu terkutuk di mata mereka, karena membuat tubuh mereka memagut dinginnya malam demi malam tanpa kehangatan dari napas sengal perempuan-perempuan mereka. Membuat biji mata mereka nyaris melesat dari liangnya. Membuat darah mereka mendidih, mengerjat-ngerjat sesekali, seperti dibakar ubun-ubun mereka. Lagi-lagi salah satu dari mereka geram.
"Haram jadah! Aku sudah muak! Terserah laknat Hyang kalau dusun ini masih membiarkan dua manusia terkutuk-Nya itu hidup, bahkan mungkin bisa lebih lama dari hidup kita semua. Aku tak peduli. Persetan! Bukankah Dia juga yang menghidup-matikan mereka?"
Persis, belum habis satu kali kedipan mata, setelah laki-laki dusun yang geram itu memberondongkan kalimat umpatannya, libasan petir sekonyong merobek angkasa yang gelap tak berbintang. Menghamburkan ratusan laki-laki dusun dari pos-pos penjagaan mereka, semburat tunggang-langgang, seperti sekawanan semut yang baru saja diobrak-abrik sarangnya oleh moncong trenggiling. Cambuk-cambuk petir itu mengoyak-moyak kesadaran mereka. Semua terjadi seperti dalam murka yang dahsyat.
***
Setelah yakin melelapkan Banjo di atas tumpukan daun-daun lebar dan reranting kering di sisinya, emak bangkit. Melangkah terbungkuk-bungkuk menuju mulut gua kecil yang tak sengaja diketemukannya persis ketika libasan petir pertama, libasan paling kilat. Emak memandang saja ke kejauhan. Petir mencekam. Kesiur angin menegakkan bulu kuduk.
Hingga…hingga sepertinya emak melihat kelebat sinar putih. Tinggi dan besar. Mendekat…Mendekat…Lalu melampaui diri tegaknya di tepi mulut gua. Melingkari tubuh Banjo yang meringkuk lelap.
Tak ada perlawanan. Tatapan emak telah menjadi begitu hampa. ***

Catatan:
1 Yakni bebunyian dari bambu untuk menghalau burung di ladang.
2 Alat musik seperti terbangan, namun dalam bentuknya yang lebih besar.

Cerpen “Kang Panut”

Nada tangis pilu memecah perkampungan, mengiris atap-atap rumah, mengusik mimpi-mimpi yang membadai di layar bawah sadar para penduduk. Fajar baru saja menggeliat dari kepungan malam yang busuk. Sambil mengucak-ucak pelupuk mata, beberapa penduduk berjingkat dari pembaringan, menerobos pintu, menyibak kabut dingin.
“Ada yang meninggal, ya, Kang?” tanya seseorang.
“Mungkin!” sahut yang lain.
“Kira-kira siapa yang meninggal, ya, Kang?”
“Mana aku tahu? Tapi kalau ndak salah tangisan itu dari rumah Kang Panut!”
“Tapi setahu saya keluarga Kang Panut sehat-sehat saja, kok!”
“Yah, semoga tidak ada apa-apa!”
Mereka terus berjalan menyusuri jalan desa yang dingin dan berkabut. Tergesa-gesa. Suara tangis makin menyayat-nyayat. Para penduduk makin tak sabar. Ketika tiba di rumah Kang Panut, mereka menyaksikan kesibukan yang berlangsung di gubug reot berdinding bambu itu.
“Urut pergelangan kakinya!” seru seseorang.
“Bikinkan kopi, cepat!”
“Tekan jempol kakinya!”
Suara penduduk kampung yang riuh berbaur dengan bau mulut, suara batuk, suara tangis, suara kokok ayam. Di kejauhan sana suara azan subuh menggema, menampar dinding bukit, menggoyang lembah hantu dan demit, menggetarkan kaki langit. Di atas pembaringan, Kang Panut tergolek tak berdaya. Bola matanya mendelik dahsyat. Wajahnya pasi, kehilangan cahaya kehidupan. Napasnya berat dan sesak. Kerongkongan dan rongga dadanya seperti tersumbat beban yang mahaberat. Beberapa penduduk sibuk mengurusnya. Namun, agaknya Tuhan telah berkehendak lain. Lelaki kurus itu tiba-tiba meronta dahsyat, lalu diam, tak berkutik. Sekujur tubuhnya kaku dan dingin. Mati. Seorang perempuan kurus memekik histeris; roboh dan tersungkur ke lantai. Kabut duka bergulung-gulung menyelimuti gubug reot itu.
Tak seorang pun menduga, Kang Panut bakal meninggal secepat itu. Kemarin, para penduduk masih sempat menyaksikan lelaki kurus bermata juling itu bekerja sebagai tukang masak air di rumah Pak Lurah Kimpul yang sedang punya hajat mantu. Dengan celana kolor hitam dan kaos oblong lusuh, Kang Panut bergelut dengan api dan asap dapur. Memasak air untuk suguhan para tamu. Wajahnya tampak lelah. Namun, Kang Panut tak menghiraukan. Dia terus bekerja sampai hajat usai.
Agaknya Kang Panut menikmati betul pekerjaannya itu. Hanya dengan upah lima ribu rupiah, dia sambut tawaran setiap penduduk yang membutuhkan tenaganya dengan senang hati. Yu Ginem, isterinya pun tak pernah berontak. Dari dalam gubugnya yang reot itu hampir tak pernah terdengar percek-cokan. Hanya sesekali terdengar tangis kedua anaknya yang saling berebut makanan atau nasi kenduri dari tetangga. Selebihnya, gubug reot itu senantiasa sunyi, tersisih di sudut perkampungan yang tak pernah terjamah suara radio atau televisi. Jika malam tiba, dari balik gubug itu menggema suara jangkrik atau gangsir yang bersembunyi di sela-sela gundukan cacing tanah yang lembab dan kotor.
***
Berita kematian Kang Panut bagaikan terbawa angin, menyebar dengan cepat ke seantero desa. Para penduduk berdatangan secara bergelombang. Maklumlah. Hampir semua penduduk desa dari ujung barat hingga ujung timur mengenalnya. Dia dianggap telah berjasa menghidupkan hajat banyak orang. Seandainya tidak ada Kang Panut, pasti akan sering terjadi keributan. Para tamu yang hadir merasa tidak dihargai lantaran tak disuguhi minuman. Kasak-kusuk dengan mudah dan cepat berkecamuk di setiap kepala. Memang hanya sekadar minuman. Namun, bisa menjadi persoalan besar lantaran menyangkut harga diri dan kehormatan.
Para pelayat membludak. Gubug reot itu seolah-olah mau ambruk; tak kuasa menampung pelayat yang berjejal-jelal. Sebagian yang lain menyingkir ke emper rumah-rumah tetangga. Pak Lurah Kimpul pun menyempatkan hadir. Bola matanya berkaca-kaca. Entah, pikiran apa yang tengah berkecamuk di rongga kepalanya.
“Huh! Dasar koruptor! Untuk apa ikut-ikutan layat?” gerutu seorang pemuda di tengah kerumunan pelayat yang berjubel.
“Hus! Jangan keras-keras! Ini bukan saatnya mengobral umpatan! Ndak baik!”
“Alah! Memang takut?”
“Ini bukan soal takut atau tidak takut, tapi soal kepantasan! Pantaskah kita mengumpat-umpat di tengah suasana duka seperti ini?”
“Oh, Sampean ingin membela lurah yang jelas-jelas menilap tanah bandha desa itu, hem?”
Suasana tiba-tiba tegang. Para pelayat saling bertatapan. Orang-orang yang semula menunduk takzim di sekeliling jasat Kang Panut terusik; bergegas keluar gubug dengan kepala diserbu tanda tanya.
“Hei! Jangan seenaknya menuduh orang, ya?” Plak! Sebuah bogem mentah meluncur. Terjadi keributan. Saling pukul. Para pelayat berebutan melerai. Pak Lurah Kimpul menyibak kerumunan, mengucak-ucak bola mata di balik kaca mata minusnya yang tebal. Jidatnya berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari.
“Kalian ini gimana toh? Pantaskah ribut-ribut dalam suasana seperti ini? Bukannya mendoakan Kang Panut, tapi malah bikin keonaran. Dasar!” sergah Pak Lurah Kimpul dengan wajah memerah seperti kepiting rebus. Para pelayat kembali saling bertatapan.
“Hei, Pak Lurah! Apa hak Sampean melarang-larang orang! Jangan sok menasihati! Berkacalah Sampean!” sahut pemuda yang tadi kena bogem mentah dengan nada gemetaran. Jari-jarinya mengusap darah yang menetes dari belahan bibirnya yang pecah. Pak Lurah Kimpul terkejut. Bola matanya membelalak. Para pelayat kembali bertatapan untuk ke sekian kalinya, saling berbisik. Suasana berubah riuh seperti kerumunan lebah mencari sarang.
“Edan! Sinthing! Gendheng! Berani-beraninya ngomong seperti itu di depan Pak Lurah?” Seorang lelaki tua berikat kepala hitam menyeruak kerumunan dan mencengkeram krah baju si pemuda dengan kekuatan penuh, lantas disentakkan dengan keras. Si pemuda terjengkang.
“Sampean semua yang gendheng! Sudah kena tipu sama si Lurah brengsek itu!” sahut si pemuda dengan tubuh sempoyongan. Telunjuknya menuding wajah lelaki tua berikat kepala hitam dan wajah Pak Lurah Kimpul. Lantas, beranjak menjauhi kerumunan. Darah lelaki tua berikat kepala hitam berdesir. Rongga dadanya serasa diserbu puluhan kalajengking. Perih dan nyeri. Bola mata Pak Lurah Kimpul berkeriyap dari balik kaca mata minus tebalnya. Jantungnya bergetar hebat. Keringat meluncur deras di dahinya. Berkilat-kilat. Ulu hatinya serasa dihantam godam bertubi-tubi. Cahaya matahari seolah berubah bagaikan kilatan pedang yang siap merajam tubuhnya. Baru kali ini dia diperlakukan sekasar itu oleh warganya sendiri. Dia tidak tahu harus berbuat apa menghadapi pemuda sundal itu.
“Sudahlah, Pak Lurah! Anggap saja dia orang gila. Buat apa diurusi? Sekarang, mari segera kita urus jenasah Kang Panut!” rajuk lelaki tua berikat kepala hitam sambil tersenyum. Hambar. Pak Lurah Kimpul termangu. Pikirannya menerawang entah ke mana.
Sementara itu, para pelayat juga tak habis pikir dengan sikap si pemuda yang dianggap keterlaluan. Dalam sejarah desa di bibir hutan jati itu, baru kali ini ada seorang pemuda yang demikian nekat dan berani mengumbar kata-kata kasar di depan hidung seorang pemimpin.
Tanpa tahu sebab yang pasti, dari balik gubug duka tiba-tiba terdengar suara gaduh. Para pelayat berlarian. Berjejal-jejal.
“Kang Panut hidup lagi!” teriak seorang penduduk mengabarkan.
“Ha? Hidup lagi?” Mulut para pelayat menganga.
“Ah, tidak mungkin!”
“Lihat saja sendiri!” Para pelayat makin tak sabar.
Bagai tersihir, para pelayat terpaku menyaksikan Kang Panut duduk bersila di atas meja. Mulutnya menyeringai, menyemburkan hawa busuk. Tampak deretan giginya yang kuning dan kotor. Orang-orang sibuk menutup lubang hidung.
“Kang? Sampean hidup lagi, Kang?” tanya Yu Ginem sambil merangkul Kang Panut. Sepasang mata perempuan kurus itu berkaca-kaca seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Kang Panut tak menjawab. Mulutnya terus menyeringai, menyemburkan hawa busuk. Namun, di rongga hidung Yu Ginem bagaikan aroma bunga dari sorga. “Puji syukur Ya Allah, suamiku hidup kembali!” lanjutnya sembari membungkus tubuh suaminya dengan sarung dan kaos oblong lusuh. Yu Ginem serasa bermimpi. Tubuhnya gemetar saking senangnya. Para pelayat masih termangu sembari menutup hidung rapat-rapat.
“Nem, ini anugerah dari Sing Nggawe Urip. Kamu harus bersyukur, suamimu telah kembali! Mungkin belum saatnya suamimu menghadap Gusti Allah!” kata lelaki tua berikat kepala hitam sambil mendekati Yu Ginem dan Kang Panut. Pak Lurah membuntutinya sambil menutup hidung rapat-rapat.
“Ya, Mbah!” jawab Yu Ginem sambil mengangguk-angguk.
“Nut, Panut!” sapa lelaki berikat kepala hitam. “Kamu masih mengenalku, toh?” Tak ada reaksi. Kang Panut hanya menyeringai. Hawa busuk menyembur-nyembur. Perut Pak Lurah tiba-tiba terasa mual seperti digerayangi ratusan cacing pita. Dan dia tak kuat lagi menahan isi perut yang terus menyodok-nyodok kerongkongannya. Lelaki tambun itu muntah-muntah. Para pelayat berpandangan.
“Pak Lurah sakit?” tanya lelaki tua berikat kepala hitam.
“Iya, Mbah! Maaf, aku pulang dulu, ya?”
“Iya, mangga! Sebaiknya begitu!”
Terdengar deru kendaraan memecah perkampungan. Mata para penduduk mengikuti laju Pak Lurah Kimpul hingga hilang di tikungan.
“Para sedulur!” kata lelaki tua berikat kepala hitam sambil berdiri di samping Kang Panut yang tak henti-hentinya menyeringai. Yu Ginem tampak menyisir rambut Kang Panut yang acak-acakan dan berbau. “Kita sudah sama-sama melihat, Panut dalam keadaan segar-bugar. Gusti Allah masih menghendaki dia bersama kita! Nah, sekarang, anggap tidak pernah terjadi apa-apa! Para sedulur boleh pulang!” Para penduduk berbisik-bisik. Riuh. Sambil menutup hidung, mereka berdesakan meninggalkan gubug reot itu.
***
Kabar hidupnya kembali Kang Panut dengan cepat tersebar ke desa-desa tetangga, meluas ke kecamatan, kabupaten, bahkan hingga ke kota-kota terdekat. Para wartawan media cetak dan elektronik saling berlomba meliput peristiwa menghebohkan itu. Orang-orang kesehatan merasa tertantang untuk melakukan riset khusus. Rombongan orang dari berbagai kalangan terusik untuk membuktikan kebenaran cerita yang berkembang dari mulut ke mulut. Desa di bibir hutan jati yang biasanya sunyi itu pun mendadak ramai dan sibuk.
Para wartawan, orang-orang kesehatan, dan mereka yang berdatangan dari berbagai kota ingin sekali mendengar penuturan langsung dari Kang Panut. Apa sebenarnya yang dia alami ketika berada dalam alam kematian. Namun, sia-sia. Kang Panut hanya bisa menyeringai, menyemburkan hawa busuk. Tak sepatah kata pun meluncur dari bibirnya yang selalu dikerumuni lalat dan serangga. Mereka yang semula penasaran tiba-tiba merasa jijik dan takut.
Waktu terus berlalu. Kehadiran Kang Panut tiba-tiba menjadi masalah besar. Setiap malam, kabarnya dia suka keluyuran, mendatangi rumah penduduk secara tak terduga, menyeringai, meninggalkan hawa busuk. Pernah suatu malam, Kang Panut mendatangi rumah penduduk yang sedang menggelar pesta hajat mantu. Di atas panggung, para biduan dangdut sedang hangat-hangatnya menghibur para penonton. Tiba-tiba tercium bau busuk. Makin lama makin menusuk-nusuk hidung. Tanpa diduga, Kang Panut sudah berada di depan tungku perapian seperti yang sering dia lakukan sebelum mati suri. Keruan saja, para penonton bubar. Rombongan pemain musik dan biduannya kabur menyelamatkan diri. Tuan rumah pingsan.
Konon, pada siang hari Kang Panut selalu mendekam di dalam gubug reotnya. Ada yang bilang, dia tak sekadar tertidur, tetapi benar-benar mati. Anehnya, pada malam hari dia kembali beraksi; datang ke rumah-rumah penduduk secara tiba-tiba. Desa seperti diselubungi bau mayat yang amat busuk. Para penduduk benar-benar tersiksa.
“Kita harus ambil tindakan secepatnya, Pak Lurah!” kata lelaki tua berikat kepala hitam di rumah Pak Lurah Kimpul yang besar dan megah. Para penduduk yang mendampinginya mengangguk-angguk. “Kalau tidak, desa kita bakalan dikucilkan desa-desa tetangga!”
“Lalu, apa rencana Sampean?”
“Kita singkirkan saja dia!”
“Caranya?”
“Serahkan saja kepada saya dan anak-anak!”
“Baik, aku setuju!”
Maka, keesokan harinya, di bawah komando lelaki tua berikat kepala hitam, para penduduk dengan wajah beringas berbondong-bondong menggrebeg gubug Kang Panut. Namun, belum sempat rencana penyingkiran Kang Panut terwujud, seorang pemuda menghalang-halanginya.
“Keliru besar kalau kalian hendak menyingkirkan Kang Panut!” kata si pemuda berkacak pinggang.
“Hei, pemuda keparat! Menyingkirlah sebelum pedang-pedang itu membabat lehermu!” sergah lelaki tua berikat kepala hitam dengan gusar.
“Tunggu dulu, Pak Tua! Sebenarnya yang lebih pantas disingkirkan itu Pak Lurah Kimpul yang jelas-jelas menilap tanah bandha desa! Bukan Kang Panut yang tidak bersalah! Tubuh Kang Panut memang busuk, tapi mental Lurah Kimpul jauh lebih busuk!”
“Anak-anak, habisi saja dia!” komando lelaki tua berikat kepala hitam. Namun, tak ada reaksi. Para penduduk tiba-tiba tersungkur seperti daun-daun berguguran. Dari dalam gubug reot, tiba-tiba menyembur hawa busuk yang jauh lebih dahsyat; menggetarkan seisi desa. ***