Kamis, 13 Agustus 2009

Cerpen - Di BUS
Bis biru ini pengap. Kapasitasnya hanya belasan orang kok dipaksa menjadi 30 kepala di dalamnya. Ada bapak ibu, anak dewasa, tua muda, kaya miskin, kecil besar, tinggi pendek, semuanya bercampur baur sambil menikmati kereyotan bis yang seakan-akan mengocok-ocok seisi perut. Untung saja perutku sedang kosong, jadi sebenarnya tidak ada yang berguncang, biasanya kalau ada isinya aku sudah mabuk, untung saja! Sepertinya ada yang harus diralat, lapar kenapa dibilang untung. Kini saja mataku sudah berpendar, leher belakangku sudah mulai pegal-pegal dan memanas, jemariku menjadi malas untuk berlentik, apalagi mulutku, kini benar-benar seperti di lem lalu dipress di perapian selama lima menit seperti ketika ban bocor sedang ditambal.
Tak bisa dibayangkan bagaimana perihnya perutku, padahal aku hanya baru tidak makan selama dua hari, tetapi kenapa sebegitu parahnya. Tambah lagi duduk di sampingku seorang ibu dengan anaknya kira-kira berumur lima tahun. Dari tadi anak itu makan jajanan terus, ada gordon, biskuit, kerupuk, dan lain-lainnya. Sepertinya ibu itu sebuah warung berjalan, di dalam kantung plastiknya yang berwarna putih itu masih ada banyak lagi pilihan buat si anak untuk mengemil. Tak jarang ada beberapa remah-remah jajanan yang jatuh, aku ingin sekali memungutnya untuk memoles lidahku dengan asinnya supaya tidak hanya kaku seperti ini. Bahkan pernah terbersit di dalam hatiku untuk mengajukan tanganku, menengadah memohon belas kasihan. Tetapi, lagi-lagi hatiku masih menginginkan mukaku yang indah, aku bukanlah lelaki dengan muka baja yang tahan gempuran permaluan.
***
Aku adalah seorang penjahit yang oleh orang tuaku diberi nama Karyo Santoso. Aku tidak pernah tahu jawabannya mengapa bisa terlahir di desa terpencil yang bernama Kedungan, Gunungkidul. Aku jika bisa interupsi, inginku memohon untuk terlahir di sebuah kota dari perut orang tua yang kaya raya dan berbahagia. Tidak seperti ini, aku terlahir dari sebuah daerah pedalaman yang terpencil seperti jauh dari peradaban. Untuk ke pasar butuh jalan kaki sejauh tujuh kilometer, untuk mencapai sekolah setingkat SMP butuh jalan kaki lima kilometer, untuk mencapai sekolah setingkat SMA butuh berjalan sepuluh kilometer, untuk berjalan Kuliah, tidak mungkin dicapai dengan berjalan kaki karena jaraknya empat puluh kilometer.
Tak bisa dipungkiri, Simbok dan Ramak adalah orang-orang yang kampungan. Yang mereka tahu hanyalah mengairi sawah dan memetik lombok di ladang. Ditanya tentang masa depan anak-anak mereka, mereka hanya punya keinginan agar kami cukup bisa baca tulis kemudian menggarap sepetak sawah untuk menyambung kehidupan yang kering di bumi yang subur karena basah atau merantau saja dan pulang dengan pakaian kekotaan dan logat Jawa bercampur dengan Betawi. Maka kami tiga saudara setelah lulus SD atau SMP langsung hengkang dari kampung halaman jika tak ingin menjadi sekedar petani, kami pergi ke kota-kota besar seperti Jakarta yang katanya banyak proyek atau pabriknya. Dan ini memang menjadi tren di desa kami dari dulu, aku tidak tahu mulainya kapan tetapi cukup membuat sepi desaku dari anak muda tinggal orang tua dan anak-anak saja. Sungguh inilah prestasi daerah subur sebagai daerah yang dialiri Sungai Oya yang tanahnya selalu siap ditanami apapun.
“Le, sudahlah kamu pergi saja dari sini. Ikut saja teman-temanmu ke kota. Nanti kalau sudah sukses kamu baru pulang, nanti kamu bisa menikah dengan siapapun, kami tidak akan menjodohkanmu.” rayu Simbokku ketika aku lulus SMP.
“Iya Le, buat apa kamu masih terus di sini. Apa kamu ingin hanya menyangkul? Walau sebenarnya aku semakin senang ketika kamu bisa Bantu-bantu Ramak, tapi untuk kelanjutan masa depanmu sebaiknya kamu pergi saja!” tambah ramakku.
“Baiklah. Aku memang sebenarnya juga ingin pergi. Tapi bagaimana dengan Kalian? Bukankah aku ini anak ragil? Terus nanti siapa lagi yang akan menemani kalian jika aku pergi? Nanti bisa-bisa kalian menjadi kesepian sepeninggalku. Dan aku juga takut jika suatu saat ketika aku kembali ternyata tidak sukses karena kebodohanku. Bukankah ini bisa jadi menghancurkan harapan Kalian kepada satu-satunya anak lelakimu ini?”
“Memang betul, tapi jika kamu tetap di sini harapan kami itu malah semakin kecil untuk terwujud. Dengan pergi kamu bisa bekerja dengan sungguh-sungguh Le..” kata simbokku yang mulai meneteskan air matanya.
“Nanti kalau sudah pulang kamu akan sukses Le, buat apa kamu takut. Kelak istrimu akan bangga dan berbahagia jika mendapatkan Thole bagus yang kaya seperti kamu. Nanti anak-anakmu bisa sekolah lama sampai tinggi akhirnya menjadi orang-orang yang besar.”
Akhirnya aku pergi. Ketika itu adalah setelah lebaran dimana ada banyak tetanggaku yang mudik. Ada yang membawa mobil, motor, atau hanya dengan bis. Bahkan banyak yang membawa sanak mereka dengan wajah asing dan sok jijik melihat simbah dan pakaian yang dikenakannya. Aku ikut tetanggaku yang baru dua tahun merantau dan kesana dengan bis. Aku dibekali uang, jumlahnya aku lupa tapi pokoknya uang itu adalah hasil menjual jagung yang telah disimpan setengah tahun di pogo. Beserta beberapa helai pakaian dan berbagai benda-benda kesayanganku. Diiringi tangis isak penuh harapan, aku menyematkan asaku kepada tetanggaku, terserah dia mau apakan diriku ini. Yang penting bagiku adalah sampai sana kemudian bekerja dan bekerja, kumpulkan uang supaya menjadi kaya. Aku sudah membawa celengan dari bumbung bambu yang akan jadi penyimpan uang. Aku ingin pulang dengan kesuksesan!
Semangat itu benar-benar menjadi cambuk motivasiku. Aku termasuk karyawan yang tidak tahan menganggur. Selalu bekerja dengan giat dan semangat. Dalam malam-malam pun aku isi dengan kerja lembur, sedikit tidur. Badanku yang semula kerempeng kini menjadi kekar, karena aku bekerja dua tahun sebagai kuli bangunan dengan dedikasi tinggi. Lalu jadi mandor dadakan setelah mandor sebelumnya tewas tertimpa seember besar yang berisi batu bata basah yang jatuh dari lantai lima belas. Aku yang kebetulan tak jauh darinya hanya bisa melongo melihat kejadian mengenaskan itu. Namun inilah awal karir cemerlangku. Aku menjadi mandor…
Sepuluh tahun setelah menjadi perantau, aku benar-benar diriku sudah matang. Aku ingin segera menikah. Calonnya pun sudah siap. Dia adalah seorang penjahit yang dari dulu langgananku ketika celana-celana jeansku robek maka di tempatnyalah aku memperbaikinya. Dimulai dari situ aku mulai dekat kemudian akrab hingga akhirnya… “kami akan menikah sebulan lagi”
***
Kehidupan adalah roda yang bundar. Tak akan ada yang menyeru ketika ada yang di atas kemudian ada yang di bawah. Suatu ketika yang di atas akan turun dan menjadi suatu hal yang sangat wajar ketika ada yang di bawah kemudian mejadi di atas.
Inilah aku:
Seorang mandor yang dipecat karena keteledoran. Aku pergi membawa malu ketika bangunan yang sedang aku garap tiba-tiba runtuh padahal sedang mengecor lantai dua. Ada sebelas tenaga kerja di bawahnya yang tewas tertimbun dengan kaku. Ketika berhasil dievakuasi aku sudah tidak bisa melihatnya karena sudah dalam jeruji besi dan wajahku masuk dalam salah satu sesi berita kriminal siang dan petang. Aku sebenarnya berbangga bisa masuk TV, tetapi kenapa penyebabnya adalah seperti ini.
Aku juga seorang penjahit. Setelah menjalani hukuman tiga tahun, aku kembali dengan gelar residivis yang layak untuk ditolak melamar dimanapun. Akhirnya aku belajar menjahit dengan istriku di rumah. Hal ini benar-benar bisa menjadikan hari-hariku sedikit tersenyum. Apalagi kini ada tiga buah hati yang menjadikan aku semakin berbunga-bunga. Walaupun belum bisa benar-benar mahir dalam menjahit, tapi cukuplah menjadi asisten istriku, sungguh baik wahai engkau Watini. Maafkan suamimu yang saat ini menjadi beban bagimu. Suatu saat aku yang akan mencarikan nafkah bagi keluarga kita. Kamu tidak perlu lagi banting tulang untuk sesuap buat Si Buyung. Sudahlah cukup kamu menderita selama aku berada di tahanan. Suamimu ini memang bukanlah pahlawan, tapi apakah sekedar menghidupi secara wajar tidak mampu?
Lebih tenarnya, aku dikenal sebagai penghutang ulung. Ini lagi-lagi bukanlah keinginanku. Ketika itu aku berniat mengembangkan usaha perdangan dengan meminjam lima puluh juta di bank. Aku berniat membuka cabang baru di di Yogya, karena selain lebih dekat dengan orang tuaku, nanti aku ingin menyekolahkan anak-anakku di kota pelajar itu. Aku tetap mempunyai keinginan seperti yang dicita-citakan Ramakkudulu, anak-anakku bisa sekolah dengan baik dan lulus sehingga SUKSES!
Aku dan anak pertamaku duluan tinggal di Yogya, kadang tiga bulan sekali atau selang beberapa saat keluargaku berkumpul, entah di Yogya atau Jakarta. Tapi, kali ini benar-benar diluar dugaan. Mendirikan usaha baru bukanlah hal yang mudah. Tak sekedar membalik telapak tangan, yang ada seolah-olah mengaduk-aduk lahar Merapi. Tak berhati-hati akan terpeleset lalu masuk dan tewas mendidih dalam jurang kerugian lalu kebangkrutan yang bertubi-tubi. Dan ini benar-benar terjadi! Sungguh-sungguh, tidak bohong! Akulah makhluk amatiran yang sedang menjadi nelayan di Pasifik dengan kail kecil untuk memancing Paus menggunakan perahu Gethek.
Usaha yang ada di Jakarta disita Bank karena memang inilah barang agunanku. Usaha yang ada di Yogya belumlah menghasilkan uang malah merugi dan terus merugi. Padahal sudah menempatkan modal yang sebegitu banyak. Tagihan yang tadinya rutin dibayarkan ke Bank menjadi berhenti total. Benar-benar uang yang ada hanya cukup untuk sekedar menyambung hidup. Tagihan listrik, telepon, pajak bumi dan bangunan, ledeng, uang sampah, uang SPP anak-anak, dan kebutuhan-kebutuhan wajib lainnya aku hentikan pembayarannya. Bukannya ingin membengal, tapi apa mau dikata, tidak ada sepeser pun untuk membayarnya. Bahkan aku sudah mulai hutang kecil-kecilan untuk membiayai makan sehari-hari.
Mulailah aku berinisiatif mencari hutangan. Tak tanggung-tanggung malu, aku sudah membulatkan tekad segera keluar dari semua ini. Makanya aku bergerilya kepada seluruh sanak saudara dan handai taulan seluruh nusantara untuk membantuku dengan meminjamiku. Aku menjanjikan setahun lagi akan benar-benar melunasinya. Ada paman dan kakak sepupuku di Surabaya, Pakde yang ada di Palembang, bahkan adik sepupuku yang baru mulai berkelana di Serang pun aku meminta bantuannya. Semuanya terkumpul, tapi kok tetap saja kerugian semakin melanda.
Sudahlah, aku pokoknya ingin keluar dari ini semua. Aku adalah aku yang kokoh, hanya masalah harta kenapa dibuat susah, begitu kata hatiku. Aku pulang, meminta tolong kepadaramak, “Ramak, bolehkah anandamu ini meminjam uang kepada engkau?”
“Aku sudah tidak punya apa-apa, hanya sepetak sawah dan sebuah motor butut, kamu ambil saja. Aku tahu kesulitanmu dan hanya itu yang aku bisa Bantu.” rintih Ramakku, sungguh menyayat hatiku yang sudah pilu. Akhirnya tanah itu aku jual dan motornya aku gadaikan. Sebelumnya aku sampaikan maafku yang besar kepada Ramak tercinta.
Lagi-lagi muncul kata “tapi”, kerugian terus melanda. Karena ada seorang pelanggan yang bermain curang, pesanan kaosnya yang dalam partai besar untuk pemilu ternyata tidak dibayar. Usut punya usut ternyata lelaki tersebut yang menjagokan diri sebagai calon anggota DPRD juga sedang jatuh miskin setelah kalah dalam pemilihan legislatif. Sungguh-sungguh terpuruk, tidak berbohong!
Kini, aku adalah lelaki yang sedang duduk di dalam bis biru. Membawaku pulang, di rumah telah menanti orang tua dan keluargaku. Memang keluargaku sudah aku boyong ke rumah setelah sebelumnya aku tidak mampu membiayai hidup. Aku minta tolong orang tuaku untuk sementara memenuhi perut-perut keluarga kami yang terus kerontang. Namun sekarang aku ingin berucap, “Maafkan, Ayahmu ini belum berhasil membawa uang. Dua hari yang lalu tempat usaha jahitan kita ludes terbakar si jago merah. Kenapa dia hanya memilih punya kita? Aku tidak tahu jawabnya, tapi aku hanya bersyukur masih bisa keluar dengan selembar pakaian dan uang lima ribu di saku. Seharian kemarin aku memunguti sisa-sisa yang bisa dipakai, tapi yang tersisa tinggal sebungkus plastik hitam yang ada di bawahku ini. Kemudian hari ini aku berjalan lima kilometer menuju terminal kemudian naik bis biru ini. Uangku hanya benar-benar cukup untuk sampai ke rumah. Tidak ada untuk makan dan membayar kamar mandi untuk sekedar buang air kecil.”
Kakiku sungguh bergetar dan mataku jadi melotot! Tapi kemudian terpejam.
Aku melirik anak kecil yang di sampingku tadi. Dia tersenyum dengan lugu memandangku. Aku membalasnya. Dia yang sedang mengunyah jajanannya, tanpa ku duga mengulurkannya kepadaku. Benar-benar seperti ”pucuk dicinta ulam pun tiba”, aku ingin cepat-cepat meraihnya, mengunyahnya, dan mengisi perutku dengan jajanan itu. Aku sangat bersyukur, sekaligus merekahkan sebuah senyum yang sangat tulus. Tapi, tiba-tiba ada yang menahan dari dalam hatiku. Ya, menangkal usaha yang bentar lagi aku lakukan.
Ambil.
Tidak jadi ambil.
Ambil.
Ah!!!! Betapa bodohnya aku. Orang tua masih saja bernafsu terhadap jajanan anak kecil. Emangnya aku ini tidak punya tenaga untuk berusaha? Apakah hidupku memang hanya pantas untuk terus meminta? Apakah jalan yang bisa menyelamatkanku sudah lari begitu saja? Apakah bantuan yang bisa saja menolongku itu hanya fiktif? Apakah aku tidak layak untuk hidup yang bahagia? Apakah anugerah itu sudah lupa terhadap hamba? Apa? Hamba? -Ya, hamba-. Celaka aku baru ingat, aku ini hamba. Ada Pencipta dan Penguasa di sana. Mengapa aku malah melupakannya. Sepertinya aku terlalu sombong dengan apa yang aku bisa dan punya. Aku harus mencari itu, tapi dimana? Ada yang mau memberi tahuku? Batulah, please...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar